Selasa, 22 Oktober 2013

BATASAN DAN DEFINISI SASTRA BANDINGAN

I will fly trough the sky I will shine like the sun beautiful like the color over the rainbow


BATASAN DAN DEFINISI SASTRA BANDINGAN
Menurut kamus istilah sastra, sastra bandingan diartikan sebagai telaah dan analisis terhadap kesamaan dan pertalian karya sastra berbagai bahasa dan bangsa. Telaah bandingan sastra ini khususnya dalam sastra Indonesia relatif baru (Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, 2007: 181).
Sastra bandingan merupakan kegiatan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain atau membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan (Endraswara, 2011:10).
Menurut Basnett (1993:1), sastra bandingan adalah studi teks lintas budaya, berciri antar disiplin dan berkaitan dengan pola hubungan dalam kesusastraan lintas ruang dan waktu. Sesuai dengan pendapat Basnett ini, kajian sastra bandingan setidak-tidaknya harus ada dua objek sastra yang dibandingkan. Kedua objek karya sastra itu adalah karya sastra dengan latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan latar belakang budaya itu dengan sendirinya juga berbeda dalam ruang dan waktu.
Menurut Remak (1990:1), sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain, seperti seni (misalnya seni lukis,seni ukir, seni bina, dan seni musik), filsafat, sejarah, dan sains sosial (misalnya politik, ekonomi, sosiologi), sains, agama, dan lain-lain. Ringkasnya, sastra bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan.
Menurut Nada (dalam Damono, 2009:3), sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra, dan apa pula yang telah disumbangkannya. Ringkasnya, seseorang tidak bisa dianggap telah melakukan studi sastra bandingan, jika ia mengadakan perbandingan antara sastrawan Arab, al-Buhturin, dan penyair Arab lainnya seperti Hafiz dan Syauqi.
Menurut Hutomo (1993:15), secara ringkas sastra bandingan dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang mencakup tiga hal. Pertama, sastra bandingan lama, yakni sastra bandingan yang menyangkut studi naskah. Sastra bandingan ini, biasanya ditangani oleh ilmu Filologi. Kedua, sastra bandingan lisan, yakni sasata bandingan yang menyangkut teks-teks lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi dan dari satu tempat ke tempat lain. Teks lisan ini dapat berupa tradisi lisan, tetapi dapat diungkapkan dalam wujud sastra lisan (tradisi lisan yang berseni). Ketiga, sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan yang menyangkut teks sastra modern. Walaupun secara garis besar ada tiga hal definisi atau pengelompokkan sastra bandingan tersebut, ternyata terdapat teori dan metode yang dapat dipergunakan oleh ketiganya, atau ketiganya dapat saling meminjam metode dan teknik penganalisisannya. Dengan begitu, ilmu sastra bandingan akan menjadi studi yang menarik dan bukan merupakan studi yang terbatas pada lingkungan tertentu saja.
Menurut Damono (2005:1; 2009:1), sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak dapat menghasilkan teori sendiri. Boleh dikatakan teori apapun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan, sesuai dengan objek dan tujuan penelitiannya. Dalam beberapa tulisan, sastra bandingan juga disebut sebagai studi atau kajian. Dalam langkah-langkah yang dilakukannya, metode perbandingan adalah yang utama.

KLAUSA

I will fly trough the sky I will shine like the sun beautiful like the color over the rainbow



A. DEFINISI KLAUSA
Klausa adalah satuan gramatikal yang memiliki tataran di atas frasa dan di bawah kalimat, berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnyaterdiri atas subjek dan predikat, dan berpotensi untuk menjadi kalimat (Kiridalaksana, 1993:110). Dikatakan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat karena meskipun bukan kalimat, dalam banyak hal klausa tidak berbeda dengan kalimat, kecuali dalam hal belum adanya intonasi akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat.
Klausa adalah satuan sintaksis yang bersifat predikatif. Artinya, didalam satuan atau konstruksi itu terdapat sebuah predikat, bila dalam satuan itu tidak terdapat predikat, maka satuan itu bukan sebuah klausa (Chaer,2009:150).
Klausa merupakan  satuan gramatik yang terdiri atas subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, dan keterangan maupun tidak (Ramlan melalui Sukini, 2010:41). Sedangkan Cook melalui Tarigan (2009:76) memberikan batasan bahwa klausa adalah kelompok kata yang hanya mengandung satu predikat. Dengan ringkas, klausa ialah S P (O) (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada, boleh juga tidak ada (Sukini, 2010:41-42).
            Ramlan melalui Tarigan (2009: 43) menjelaskan bahwa klausa ialah bentuk linguistik yang terdiri dari subjek dan predikat.
            Menurut pendapat Arifin (2008:34) klausa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Klausa atau gabungan kata itu berpotensi menjadi kalimat.
            Istilah klausa dipakai untuk merujuk pada deretan kata yang paling tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi belum memiliki intonasi atau tanda baca tertentu. Istilah kalimat juga mengandung unsur paling tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi sudah dibubuhi  intonasi atau tanda baca tertentu.  (Alwi, 2003:39).

Senin, 07 Oktober 2013

KOMPETENSI GURU

I will fly trough the sky, I will shine like the sun, beautiful like the color over the rainbow

by: Mei Anjar Kumalasari

Kompetensi Guru Menurut UU No 14/2005 UUGD

PENDAHULUAN

Guru dalam proses pem­belajaran di kelas dipandang dapat memainkan peran penting terutama dalam membantu peserta didik untuk membangun sikap positif dalam belajar, membangkitkan rasa ingin tahu, mendorong kemandirian dan ketepatan logika intelektual, serta menciptakan kondisi-kondisi untuk sukses dalam belajar.

Kinerja dan kompetensi guru memikul tang­gung jawab utama dalam tran­sformasi orientasi peserta didik dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketergantungan menjadi mandiri, dari tidak terampil manjadi terampil, dengan metode­-metode pembelajaran bukan lagi mempersiapkan peserta didik yang pasif, melainkan peserta didik berpengetahuan yang senan­tiasa mampu menyerap dan menyesuaikan diri dengan infor­masi baru dengan berfikir, ber­tanya, menggali, mencipta dan mengembangkan cara-cara ter­tentu dalam memecahkan mas­alah yang berkaitan dengan kehidupannya.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di­tegaskan bahwa pendidik (guru) harus memiliki kompetensi sebagai agen pem­belajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini. Arahan normatif tersebut yang me­nyatakan bahwa guru sebagai agen pem­belajaran menunjukkan pada harapan, bahwa guru merupakan pihak pertama yang paling bertanggung jawab dalam pentransferan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.

Di negara kita, bukan rahasia lagi bahwa masyarakat mempunyai harapan yang berlebih terhadap guru. Keberhasilan atau kegagalan sekolah sering dialamatkan kepada guru. Justifikasi masyarakat ter­sebut dapat dimengerti karena guru adalah sumber daya yang aktif, sedangkan sumber daya-sumber daya yang lain adalah pasif.

Oleh karena itu, sebaik-baiknya kurikulum, fasilitas, sarana dan prasarana pem­belajaran, tetapi jika kualitas gurunya rendah maka sulit untuk mendapatkan hasil pendidikan yang bermutu tinggi.

Oleh karena itu, kajian tentang kinerja dan kompetensi guru masih merupakan hal penting untuk dibahas di dalam tulisan ini, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar (legal aspect) dalam upaya perancangan dan pengembangan kinerja dan kompetensi guru dalam pembelajaran.


SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

by: Mei Anjar Kumalasari



A.  Konsep Dasar Sentralisasi Pendidikan
Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrem, tetapi dalam bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal). Hal ini juga berlaku dalam manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama
Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat.
Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya-upaya pemisahan diri yang tentunya mengancam disintegrasi bangsa.
Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI. Masalah sinkronisasi dan koordinasi kebijakan pendidikan dan upaya membina generasi muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah.


KTSP dan Muatan Lokal


oleh: Mei Anjar Kumalasari
KTSP 

2.1    Hakikat KTSP
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP pasal 1, Ayat 15), dijelaskan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memerhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dari konsep diatas, ada beberapa hal yang berhubungan dengan makna kurikulum operasional. Pertama, sebagai kurikulum yang bersifat operasional, maka dalam pengembangannya, KTSP tidak akan lepas dari ketetapan-ketetapan yang telah disusun pemerintah nasional. Artinya, walaupun daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum akan tetapi kewenangan itu hanya sebatas pada pengembangan operasionalnya saja, sedangkan yang menjadi rujukan pengembangannya itu sendiri ditentukan oleh pemerintah, misalnya jenis mata pelajaran beserta jumlah jam pelajarannya, isi dari setiap mata pelajaran itu itu sendiri, serta kompetensi yang harus dicapai oleh setiap mata pelajaran itu. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat 1, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional. Kedua, sebagai kurikulum operasional, para pengembang KTSP, dituntut dan harus memerhatikan ciri khas kedaerahan, sesuai dengan bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Ayat 2, yakni bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Persoalan ini penting untuk dipahami, akan tetapi dalam operasional pembelajarannya yang direncanakan dan dilakukan oleh guru dan pengembang kurikulum tidak terlepas dari keadaan dan kondisi daerah. Ketiga, sebagi kurikulum operasional, para pengembang kurikulum didaerah memiliki keleluaasaan dalam mengembangkan kurikulum menjadi unit-unit pelajaran, misalnya dalam mengembangkan strategi dan metode pembelajaran, dalam menentukan media pembelajaran dalam menetukan evaluasi yang dilakukan termasuk dalam menentukan berapa kali pertemuan dankapan suatu topic materi harus dipelajari siswa agar kompetensi dasar yang telahditentukan dapat tercapai.

2.2    Karakteristik KTSP
a. Dilihat dari desainnya KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu.
b. KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu.
c. KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah.
d. KTSP merupakan kurikulum teknologis.

2.3    Tujuan KTSP
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan. KTSP memberikan kesempatan kepada sekolah untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola, dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

2.4    Landasan Penyusunan KTSP
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006 Permendiknas No.41 thn 2007 tentang Standar Proses Permendiknas No. 24 Thn 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Permendiknas No. 19 Thn 2007 tentang Standar Pengelolaan Permendiknas No. 20 Thn 2007 standar Penilaian Pendidikan.

2.5    Prinsip-Prinsip Pengembangan KTSP
a. Berpusat pada Potensi, Perkembangan, Kebutuhan, dan Kepentingan Peserta Didik, dan Lingkungannya
KTSP memiliki prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pengembangan KTSP perlu memerhatikan potensi dan kebutuhan lingkungan di mana siswa tinggal. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mempersiapkan anak didik agar mampu hidup dan mengembangkan lingkungannya.
b. Beragam dan Terpadu
Pengembangan kurikulum memerhatikan keragaman karakteristik pesertadidik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status social, ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan local, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna.
c. Tanggap Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat danisi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
d. Relevan dengan Kebutuhan Kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan untuk menjadi relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berfikir, keterampilan social, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e. Menyeluruh dan Berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
f. Belajar Sepanjang Hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memerhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara Kepentingan Nasional dan Kepentingan Daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan moto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Disamping itu, dalam mengimplementasikan KTSP juga harus memerhatikan prinsip-prinsip pelaksanaan, diantaranya sebagai berikut :
1) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
2) Pengembangan posisi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik.
3) Keragaman potensi dan karekteristik daerah dan lingkungan.
4) Tuntutan pengembangan daerah dan nasional
5) Tuntutan dunia kerja
6) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
7) Agama
8) Dinamika perkembangan global
9) Persatuan dan nilai-nilai kebangsaan
10) Kondisi social budaya masyarakat setempat
11) Kesetaraan gender
12) Karekteristik satuan pendidkan.

2.6    Strategi Pengembangan KTSP
Terdapat beberapa strategi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan dan pelaksanaan KTSP, terutama berkaitan dengan sosialisasi KTSP di sekolah, menciptakan suasana yang kondusif, mengembangkan fasilitas dan sumber belajar, membina disiplin, mmengembangkan kemandirian kepala sekolah, mengubah paradigma (pola pikir) guru serta memberdayakan staf.

1. Sosialisasi KTSP di Sekolah
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan pelaksanaan KTSP adalah mensosialisasikan KTSP terhadap seluruh warga sekolah, bahkan terhadap masyarakat dan orang tua peserta didik. Sosialisasi bisa dilakukan langsung oleh Kepala Sekolah apabila yang bersangkutan sudah mengenal dan cukup memahaminya. Namun demikian, jika kepala sekolah belum begitu memahami atau masih belum mantap dengan konsep-konsep KTSP yang akan dikembangkan, maka bisa mengundang ahlinya yang ada di masyarakat, baikdari kalangan pemerintah, akademisi maupun dari kalangan penulis atau pengamat pendidikan. Sosialisasi perlu dilakukan secara matang kepada berbagai pihak agar dapatdipahami dan diterapkan secara optimal. Setelah sosialisasi, kemudian mengadakan musyawarah anara kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan dan komite sekolah untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan dari berbagai pihak dalam rangka menyukseskan KKTSP di sekolah.
2. Menciptakan Suasana yang Kondusif
Lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada peserta didik (student centered activities) merupakan iklim yang dapat membangkitkan nafsu, gairah dan semangat belajar. Iklim belajar yang kondusif harus ditunjang oleh berbagai faktor pendorong yang dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi proses belajar,sebaliknya iklim belajar yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa bosan. Karena pengembangan KTSP menggunakan pendekatan kompetensi dan berlandaskan aktivitas serta kemampuan berpikir peserta didik maka memerlukan ruangan yang fleksibel, serta mudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Luas ruangan dengan jumlah peserta didik juga perlu diperhatikan bila dilaksanakan di ruang tertutup, sedang di ruang terbuka perlu diperhatikan gangguan-gangguan yang datang dari lingkungan sekitar. Sarana dan media pembelajaran juga perlu diatur dan ditata sedemikian rupa.
Iklim belajar yang kondusif, antara lain dapat dikembangkan melalui berbagai layanan dan kegiatan sebagai berikut :
a. menyediakan pilihan bagi peserta didik yang lambat maupun cepat dalam melakukan tugas pembelajaran.
b. Memberikan pembelajaran remedial bagi para peserta didik yang kurang berprestasi
c. Mengembankan organisasi kelas yang efektif, menarik, nyaman dan aman bagi perkembangan potensi seluruh peserta didik secara optimal.
d. Menciptakan kerjasama saling menghargai, baik antarpeserta didik maupun antara peserta didik dengan guru dan pengelola pembelajaran lain.
e. Melibatkan peserta didik dalam proses perencanaan belajar dan pembelajaran
f. Mengembangkan proses pembelajaran sebagai tanggung jawab bersama antara peserta didik dan guru
g. Mengembangkan sistem evaluasi belajar dan pembelajaran yang menekankan pada evaluasi diri sendiri.

1.   Menyiapkan sumber Belajar
Sumber belajar yang perlu dikembangkan dalam KTSP disekolah antara lain laboratorium, pusat sumber belajar dan perpustakaan serta tenaga pengelola yang profesional. Sumber belajar tersebut perlu didayagunakan seoptimal mungkin, dipelihara dan disimpan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, kreatitifitas guru dan peserta didik perlu senantiasa ditingkatkan. Dalam pengembangan sumber belajar, guru disamping harus mampu membuat sendiri alat pembelajaran dan alat peraga, juga harus berinisiatif mendayagunakan lingkungan sekitar sekolah sebagai sumber belajar yang lebih kongkrit. Untuk kepentingan tersebut, perlu senantiasa diupayakan peningkatan pengetahuan guru dan didorong terus untuk menjadi guru yang kreatif dan profesional dalam pengadaan serta pendayagunaan fasilitas dan sumber belajar secara luas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal.

2.   Membina Disiplin
Membina disiplin bertujuan untuk membantu peserta didik menemukan diri, mengatasi dan mencegah timbulnya problem-problem disiplin serta berusaha menciptakan situasi yang menyenangkan bagi kegiatan pembelajaran sehingga mereka mentaati segala peraturan yang ditetapkan.

Dalam pengembangan KTSP, guru harus mampu membina disiplin peserta didik, terutama disiplin diri (self-discipline). Guru harus mampu membantu peserta didik mengembangkan pola prilakunya, meningkatkan standar perilakunya dan melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin. Pembinaan disiplin perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sikap demokratis sehingga aturan disiplin perlu berpedoman pada hal tersebut yakni dari, oleh dan untuk peserta didik. Terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan dalam membina disiplin di sekolah, sebagai berikut :
a. konsep diri (self-concept); strategi ini menekankan bahwa konsep-konsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap perilaku.
b. Keterampilan berkomunikasi (communication skills); guru harus memiliki kemampuan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaandan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik.
c. Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical consequences); perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Untuk itu, guru disarankan menunjukkan secara tepat tujuan perilaku yang salah sehingga membantu peserta didik dalam mengatasi perilakunya.
d. Klarifikasi nilai (values clarification) ; srtategi ini dilakukan untuk membantu peserta didik dalam menjawab pertanyaannya sendiri tentang nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri
e. Analisis transaksional (transactional analysis); disarankan agar guru belajar sebagai orang dewasa terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah.
f. Terapi realitas (reality therapy); sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan.
g. Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline); metode ini menekankan pengendalian penuh oleh guru untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan.

5. Mengembangkan Kemandirian Kepala Sekolah
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif harus memiliki sikap mandiri, terutama dalam mengkoordinasikan, menggerakkan dan menselaraskan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kemandirian dan profesionalisme kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi dan misi, tujuan serta sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu,dalam pengembangan KTSP diperlukan kepala sekolah yang mandiri, dan profesional dengan kemampuan manajemen serta kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Kemandirian kepala sekolah diperlukan, terutama untuk memobilisasi sumberdaya sekolah dalam kaitannya dengan KTSP, pengembangan silabus, pembelajaran pengelolaan ketenagaan, sarana dan sumber belajar, keuangan pelayanan peserta didik, hubungan sekolah dengan masyarakat dan penciptaan iklim sekolah.

7. Membangun Karakter Guru
Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar. Demikian halnya dengan pengembangan KTSP yang menuntut aktifitas dan kreativitas guru dalam membentuk kompetensi pribadi peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran harus sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali potensi dan kebenaran secara ilmiah. Dalam kerangka inilah perlunya membangun guru, agar mereka mampu menjadi fasilitator, dan mitra belajarbagi peserta didiknya. Sehubungan dengan pengembangan KTSP, guru perlu memperhatikan perbedaan individual peseerta didik, sehingga dalam pembelajaran harus berusaha untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengurangi metode ceramah
b. Memberikan tugas yang berbeda bagi setiap peserta didik
c. Mengelompokkan peserta didik berdasarkan kemampuannya, serta disesuaikan dengan mata pelajaran
d. Memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran.
e. Menghubungi spesialis, bila ada peserta didik yang mempunyai kelainan
f. Menggunakan prosedur yang bervariasi dalam membuat penilaian dan laporan
g. Memahami bahwa peserta didik tidak berkembang dalam kecepatan yang sama
h. Mengembangkan situasi belajar yang memungkinkan setiap anak bekerja dengan kemampuan masing-masing pada setiap pelajaran
i. Mengusahakan keterlibatan peserta didik dalam berbagai kegiatan pembelajaran
Agar KTSP dapat dikembangkan secara efektif, serta dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, guru perlu memiliki hal-hal berikut :
a) Menguasai dan memahami kompetensi dasar dan hubungannya dengan kompetensi lain dengan baik
b) Menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi
c) Memahami peserta didik, pengalaman, kemampuan dan prestasi
d) Menggunakan metoda yang bervariasi dalam mengajar dan membentuk kompetensi peserta didik
e) Mengeliminasi bahan-bahan yang kurang penting dan kurang berarti dalam kaitannya dengan pembentukan kompetensi
f) Mengikuti perkembangan pengetahuan mutakhir
g) Menyiapkan proses pembelajaran
h) Mendorong peserta didik untuk memperoleh hasil yang lebih baik
i) Menghubungkan pengalaman yang lalu dengan kompetensi yang akan dikembangkan. Dalam rangka mengembangkan KTSP dan mengembangkan karakter guru yang siap menjadi fasilitator pembelajaran sebagaimana diuraikan diatas, hendaknya diadakan musyawarah antara kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan, pengawas sekolah dan komite sekolah untuk membina karakter guru.

8. Memberdayakan Staf
Keberhasilan pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan kepala sekolah dalam memberdayakan staf yang tersedia. Dalam hal ini, peningkatan produktivitas dan prestasi kerja dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku staf di sekolah melalui aplikasi berbagai konsep danteknik manajemen personalia modern. Manajemen staf disekolah harus ditujukan untuk memberdayakan staf secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Sehubungan dengan itu, fungsi manajemen staf disekolah adalah menarik, mengembangkan, menggaji dan memotivasi staf guna mencapai tujuan pendidikan secara optimal, membantu staf mencapai posisi dan standar perilaku, memaksimalkan perkembangan karier serta menyelaraskan tujuan individu,kelompok dan lembaga. Dalam rangka menyukseskan implementasi KTSP secara utuh dan menyeluruh, hendaknya setiap sekolah mampu mengembangkan berbagai potensi peserta didik secara optimal, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan akhlak dan moral peserta didik.

D. Acuan Operasional Penyusunan KTSP
Acuan operasional penyusunan KTSP sedikitnya mencakup 12 poin, yakni :
1) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh.
2) Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik.
3) Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan.
4) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
5) Tuntutan dunia kerja
6) Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan seni.
7) Agama
8) Dinamika perkembangan global
9) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
10) Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
11) Kesetaraan jender
12) Karakteristik satuan pendidikan.

Aspek-aspek diatas harus dijadikan acuan oleh para pengembang kurikulum dalam pendidikan di sekolah masing-masing. Meskipun demikian, para pengembang kurikulum tidak harus terpaku pada acuan operasional diatas, tetapi mereka bisa mengembangkan dan menyesuaikan acuan tersebut dengan situasi dan kondisi daerah, karakteristik dan kemampuan peserta didik serta sarana dan prasarana yang tersedia.

Mengapa KTSP?
Ada beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan dasar dan alasan mengapa KTSP diimplementasikan dalam pendidikan nasional. Berikut dijabarkan beberapa alasan :
1. Dalam kaitannya dengan keanekaragaman budaya, adat, sosial, sumber daya dan tradisi, tidak dipungkiri lagi bahwa Indonesia memiliki semuanya. KTSP hadir sebagai sebuah langkah persiapan untuk mengoptimalkan seluruh keanekaragaman itu. Dengan sistem desentralisasi pendidikan, sebuah institusi pendidikan diharapkan mampu mengoptimalkan dan melestarikan keanekaragaman yang dimiliki oleh daerahnya masing-masing.
2. Dalam setiap institusi pendidikan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya satu. Masalah yang ada di institusi pendidikan yang satu belum tentu terjadi di institusi pendidikan lainnya. KTSP, yang penyusunannya langsung dilakukan oleh pihak satuan pendidikan, diharapkan mampu menjadi sebuah pemecahan masalah yang ada di satuan pendidikan itu sendiri. Karena yang paling mengenal sebuah institusi pendidikan adalah institusi itu sendiri, dalam hal ini seluruh tenaga pendidik dan kependidikan di institusi tersebut..
3. Memberikan kesempatan kepada seluruh unsur pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat untuk berperan aktif dalam memajukan suatu institusi pendidikan. Peran komite sekolah, yang terdiri dari perwakilan orang tua dan tokoh masyarakat setempat, diharapkan mampu memberikan kontribusi ide dan saran yang nantinya akan dijadikan sebagai sebuah pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memenuhi kebutuhan daerahnya masing-masing.

Bagaimana Evaluasi Penerapan KTSP?
Dari semua aspek yang telah dipaparkan, KTSP terkesan merupakan kurikulum yang sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Namun dalam tahap pengimplementasiannya, KTSP masih sangat jauh dari konsep yang ada. Berdasarkan data yang ada, berikut beberapa masalah dalam implementasi KTSP :
1. Standarisasi yang masih diterapkan oleh pemerintah yaitu berupa Ujian Nasional (UN). Jika KTSP dibuat dan dirancang sedemikian rupa oleh satuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata yang ada, mengapa pemerintah harus repot-repot mengadakan UN? Prinsip diversifikasi yang diterapkan dalam KTSP secara jelas mencantumkan bahwa tiap satuan pendidikan itu memiliki perbedaan. Pemerintah tidak bisa seenaknya “memukul rata” seluruh sekolah di Indonesia untuk siap mengikuti ujian nasional.
2. Kualitas tenaga pendidik yang masih sangat kurang dalam mengakomodir tugas KTSP secara keseluruhan. Seperti yang telah dijelaskan diatas, dalam KTSP, tenaga pendidik menjadi perancang, pelaksana dan pengevaluasi kurikulum yang ada di sekolah tersebut. Oleh sebab itu, kompetensi yang dimiliki haruslah mampu mengakomodir seluruh tugas tersebut. Faktanya, pelaksanaan Pendidikan Guru serta sertifikasi yang diadakan masih belum mampu membekali guru untuk dapat merancang sebuah kurikulum pembelajaran yang memenuhi tujuan keseluruhan dari KTSP.
3. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah masih belum sempurna seluruhnya. Dalam sebuah Stadium General, Prof. Dr. Tilaar pernah mengatakan bahwa hampir ratusan guru di Sumatera Utara yang hadir saat seminar yang diisi oleh beliau mengatakan bahwa mereka tidak mengerti bagaimana KTSP harus dirancang. Yang mereka tahu adalah bagaimana mempersiapkan murid agar lulus ujian nasional. Sungguh sebuah ironi, mengingat bahwa seharusnya KTSP dirancang dan dikembangkan oleh guru, namun guru itu sendiri belum memahami sepenuhnya apa itu KTSP.
Kesempurnaan konsep yang ada pada KTSP menjadi tidak berarti ketika pelaksanaannya masih jauh dari angan. Kekurangan dan kelemahan yang ada pada implementasi KTSP tentunya membutuhkan tindak lanjut dan langkah perbaikan yang harus dilakukan.

Solusi seperti apa yang dibutuhkan?
Pada dasarnya, permasalahan implementasi KTSP yang ada di Indonesia perlu diperbaiki, bukan langsung diubah. Untuk itu, kami merumuskan solusi untuk setiap permasalahan yang ada. Berikut dipaparkan solusi-solusinya:
1. Untuk permasalahan standarisasi secara nasional dengan diadakannya UN, solusi yang kami ajukan adalah penghapusan UN. Alasannya, ketika satuan pendidikan telah merancang dan melaksanakan KTSP serta menentukan standar-standar kelulusan yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan satuan pendidikan dan potensi daerahnya masing-masing, seharusnya untuk masalah sistem evaluasi yang ditujukan sebagai standar kelulusan dilaksanakan oleh satuan pendidikan itu juga. Jadi UN hanya sebagai tolak ukur pemerataan pendidikan di Indonesia, bukan sebagai standar kelulusan nasional.
2. Permasalahan kualitas guru, tentunya ini harus diselesaikan dengan cara peningkatan kualitas guru. Paling tidak, seorang guru harus paham apa itu kurikulum tingkat satuan pendidikan. Ada dua cara yang kami sarankan. Pertama pelatihan-pelatihan untuk para guru, seperti workshop, seminar, PLPG, Portofolio, dan lain sebagainya. Kedua, membekali para calon guru ketika masih dalam tahapan belajar di bangku kuliah. Ada baiknya para calon guru di bangku kuliah dibekali pengetahuan tentang kurikulum dan pengelolaan sekolah sebelum mereka terjun langsung pada dunia pendidikan.
3. Problematika terakhir adalah sosialisasi, tetap dilakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Dengan mengubah konsep sosialisasi yang kebanyakan sudah dijalankan. Kenapa? Karena kebanyakan sosialisasi yang dilakukan terlihat “monoton” dengan hanya memberikan konsep-konsep saja yang mungkin bagi kebanyakan guru membosankan dan dalam waktu 3 hari saja timbul istilah “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”. Masukkan cara-cara praktis dan contoh langsung ke lapangan mungkin salah satunya dengan simulasi di dalam kelas. Lalu setelah itu, sosialisasi tidak hanya dilakukan dengan face to face saja tetapi beri juga ruang bagi para pendidik untuk mengeluarkan uneg-unegnya di “dunia maya” dengan mengadakan forum atau apapun itu karena dari saran dan kritik mereka jugalah kita dapat mengetahui apa yang perlu dibenahi dalam kurikulum.
Pada dasarnya, ketika menemukan sebuah permasalah dalam hal apapun, sebaiknya diperbaiki, bukan diubah. Demikian seberkas pengajuan saran untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam persoalan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

MUATAN LOKAL

2.2. Muatan Lokal
Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat, sebagai upaya agar penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya terhadap keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan kurikulum muatan lokal mendukung dan melengkapi kurikulum nasional. Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahawa dalam satu tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal.
Lingkup isi/jenis mauatan local dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan.

2.2.1 Ruang Lingkup Muatan Lokal
a. Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat didaerah tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya. Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan arah perkembangan daerah serta potensi daerah yang bersangkutan. Kebutuhan daerah tersebut misalnya kebutuhan untuk:
1.  Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah
2.  Meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu, sesuai dengan keadaan perekonomian daerah
3.  Meningkatkan penguasaan bahasa Inggris untuk keperluan seharihari, dan menunjang pemberdayaan individu dalam melakukan belajar lebih lanjut (belajar sepanjang hayat)
4.  Meningkatkan kemampuan berwirausaha.

b. Lingkup isi/jenis muatan lokal,
Lingkup isi/jenis mauatan local dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan.

B.     Pengembangan Muatan Lokal dalam KTSP
Proses Pengembangan Mata Pelajaran Muatan lokal pengembangannya sepenuhnya ditangani oleh sekolah dan komite sekolah yang membutuhkan penanganan secara profesional dalam merencanakan, mengelola, dan melaksanakannya. Dengan demikian di samping mendukung pembangunan daerah dan pembangunan nasional, perencanaan, pengelolaan, maupun pelaksanaan muatan lokal memperhatikan keseimbangan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Penanganan secara profesional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu sekolah dan komite sekolah.

II. PENGEMBANGAN MATA PELAJARAN MUATAN LOKAL
Pemberlakuan KTSP membawa implikasi bagi sekolah dalam melaksanakan KBM sejumlah mata pelajaran, dimana hampir semua mata pelajaran sudah memiliki Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk masing-masing pelajaran. Sedangkan untuk Mata Pelajaran Muatan Lokal yang merupakan kegiatan kurikuler yang harus diajarkan di kelas tidak mempunyai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya. Hal ini membuat kendala bagi sekolah untuk menerapkan Mata Pelajaran Muatan Lokal. Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran Muatan Lokal bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus dipersiapkan berbagai hal untuk dapat mengembangkan Mata Pelajaran Muatan Lokal.
Ada dua pola pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal dalam rangka menghadapi pelaksanaan KTSP. Pola tersebut adalah:

A. PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL SESUAI DENGAN KONDISI SEKOLAH SAAT INI
Langkah dalam pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal bagi sekolah yang memang tidak mampu mengembangkannya, langkah tersebut adalah:
1. Analisis Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada di sekolah. Apakah masih layak dan relevan Mata Pelajaran Muatan Lokal diterapkan di Sekolah?
2. Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang diterapkan di sekolah tersebut masih layak digunakan maka kegiatan berikutnya adalah merubah Mata Pelajaran Muatan Lokal tersebut ke dalam SK dan KD
3. Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka sekolah bisa menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal dari sekolah lain atau tetap menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ditawarkan oleh Dinas atau mengembangkan muatan lokal yang lebih sesuai.

B. PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL DALAM KTSP
1. Proses Pengembangan
Mata Pelajaran Muatan lokal pengembangannya sepenuhnya ditangani oleh sekolah dan komite sekolah yang membutuhkan penanganan secara profesional dalam merencanakan, mengelola, dan melaksanakannya. Dengan demikian di samping mendukung pembangunan daerah dan pembangunan nasional, perencanaan, pengelolaan, maupun pelaksanaan muatan lokal memperhatikan keseimbangan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Penanganan secara profesional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu sekolah dan komite sekolah.
Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal oleh sekolah dan komite sekolah dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah
b. Menentukan fungsi dan susunan atau komposisi muatan lokal
c. Mengidentifikasi bahan kajian muatan lokal
d. Menentukan Mata Pelajaran Muatan Lokal
e. Mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta silabus, dengan mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan oleh BSNP
Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah
Kegiatan ini dilakukan untuk menelaah dan mendata berbagai keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Data tersebut dapat diperoleh dari berbagai pihak yang terkait di daerah yang bersangkutan seperti Pemda/Bappeda, Instansi vertikal terkait, Perguruan Tinggi, dan dunia usaha/industri. Keadaan daerah seperti telah disebutkan di atas dapat ditinjau dari potensi daerah yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kekayaan alam. Kebutuhan daerah dapat diketahui antara lain dari:
1) Rencana pembangunan daerah bersangkutan termasuk prioritas pembangunan daerah, baik pembangunan jangka pendek, pembangunan jangka panjang, maupun pembangunan berkelanjutan (sustainable development);
2) Pengembangan ketenagakerjaan termasuk jenis kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan;
3) Aspirasi masyarakat mengenai pelestarian alam dan pengembangan daerahnya, serta konservasi alam dan pemberdayaannya

b. Menentukan fungsi dan susunan atau komposisi muatan lokal
Berdasarkan kajian dari beberapa sumber seperti di atas dapat diperoleh berbagai jenis kebutuhan. Berbagai jenis kebutuhan ini dapat mencerminkan fungsi muatan lokal di daerah, antara lain untuk:
1) Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah;
2) Meningkatkan keterampilan di bidang pekerjaan tertentu;
3) Meningkatkan kemampuan berwiraswasta;
4) Meningkatkan penguasaan bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari;

c. Menentukan bahan kajian muatan lokal
Kegiatan ini pada dasarnya untuk mendata dan mengkaji berbagai kemungkinan muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan kajian sesuai dengan dengan keadaan dan kebutuhan sekolah.
Penentuan bahan kajian muatan lokal didasarkan pada kriteria berikut:
1) Kesesuaian dengan tingkat perkembangan peserta didik;
2) Kemampuan guru dan ketersediaan tenaga pendidik yang diperlukan;
3) Tersedianya sarana dan prasarana
4) Tidak bertentangan dengan agama dan nilai luhur bangsa
5) Tidak menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan
6) Kelayakan berkaitan dengan pelaksanaan di sekolah;
7) Lain-lain yang dapat dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan situasi daerah.

d. Menentukan Mata Pelajaran Muatan Lokal
Berdasarkan bahan kajian muatan lokal tersebut dapat ditentukan kegiatan pembelajarannya. Kegiatan pembelajaran ini pada dasarnya dirancang agar bahan kajian muatan lokal dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
Kegiatan ini berupa kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas, potensi daerah, dan prospek pengembangan daerah termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Serangkaian kegiatan pembelajaran yang sudah ditentukan oleh sekolah dan komite sekolah kemudian ditetapkan oleh sekolah dan komite sekolah untuk dijadikan nama mata pelajaran muatan lokal. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.

e. Mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta silabus, dengan mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan oleh BSNP.
1) Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar adalah langkah awal dalam membuat mata pelajaran muatan lokal agar dapat dilaksanakan di sekolah. Adapun langkah-langkah dalam mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar adalah sebagai berikut:
a) Pengembangan Standar Kompetensi
Standar kompetensi adalah menentukan kompetensi yang didasarkan pada materi sebagai basis pengetahuan.
b) Pengembangan Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar merupakan kompetensi yang harus dikuasai siswa. Penentuan ini dilakukan dengan melibatkan guru, ahli bidang kajian, ahli dari instansi lain yang sesuai.
2) Pengembangan silabus secara umum mencakup:
a) Mengembangkan indikator
b) Mengidentifikasi materi pembelajaran
c) Mengembangkan kegiatan pembelajaran
d) Pengalokasian waktu
e) Pengembangan penilaian
f) Menentukan Sumber Belajar
Langkah-langkah tersebut dapat mengacu pada penyusunan silabus mata pelajaran.

Sekolah yang mampu mengembangkan SK dan KD beserta silabus dan RPP-nya dapat melaksanakan Mulok. Bila belum mampu, dapat melaksanakan Mulok berdasarkan kegiatan-kegiatan yang direncanakan oleh sekolah, atau dapat meminta bantuan kepada sekolah lain yang masih dalam satu daerah. Bila beberapa sekolah dalam satu daerah belum mampu mengembangkan SK dan KD Mulok, dapat meminta bantuan Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah setempat, atau meminta bantuan dari LPMP di propinsi.

2. Pihak yang Teribat dalam Pengembangan
Sekolah dan komite sekolah mempunyai wewenang penuh dalam mengembangkan program muatan lokal. Bila dirasa tidak mempunyai SDM dalam mengembangkan sekolah dan komite sekolah dapat bekerjasama dengan dengan unsur-unsur Depdiknas seperti Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Perguruan Tinggi dan instansi/lembaga di luar Depdiknas, misalnya pemerintah Daerah/Bapeda, Dinas Departemen lain terkait, dunia usaha/industri, tokoh masyarakat.
Peran, tugas dan tanggung jawab TPK secara umum adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing;
b. Menentukan komposisi atau susunan jenis muatan lokal;
c. Mengidentifikasi bahan kajian muatan lokal sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing;
d. Menentukan prioritas bahan kajian muatan lokal yang akan dilaksanakan;
e. Mengembangkan silabus muatan lokal dan perangkat kurikulum muatan lokal lainnya, yang dilakukan bersama sekolah, mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan oleh BSNP

Peran Perguruan Tinggi dan LPMP antara lain memberikan bimbingan dan bantuan teknis dalam:
a. Mengidentifikasi dan menjabarkan keadaan, potensi, dan kebutuhan lingkungan ke dalam komposisi jenis muatan lokal;
b. Menentukan lingkup masing-masing bahan kajian/pelajaran;
c. Menentukan metode pengajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan jenis bahan kajian/pelajaran

Peran instansi/lembaga di luar Depdiknas secara umum adalah:
a. Memberikan informasi mengenai potensi daerah yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, kekayaan alam, dan sumber daya manusia yang ada di daerah yang bersangkutan, serta prioritas pembangunan daerah di berbagai sektor yang dikaitkan dengan sumber daya manusia yang dibutuhkan;
b. Memberikan gambaran mengenai kemampuan-kemampuan dan keterampilan yang diperlukan pada sektor-sektor tertentu;
c. Memberikan sumbangan pemikiran, pertimbangan, dan tenaga dalam menentukan prioritas muatan lokal sesuai dengan nilai-nilai dan norma setempat.

Untuk mengetahui muatan lokal yang ada dapat dilakukan untuk menelaah dan mendata berbagai keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Data tersebut dapat diperoleh dari berbagai pihak yang terkait di daerah yang bersangkutan seperti Pemda/Bappeda, Instansi vertikal terkait, Perguruan Tinggi, dan dunia usaha/industri. Muatan Lokal dapat ditinjau dari potensi daerah yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kekayaan alam. Sekolah yang akan menerapkan muatan lokal dapat koordinasi dengan instansi terkait yang ada dipemerintah daerah,misalnya sekolah yang akan memberlakukan muatan lokal perikanan koordinasi dengan dinas perikanan, sekolah yang akan memberlakukan teknik grabah atau seni membatik dapat koordinasi denagan dinas perindustrian, koordinasi yang dilaksanakan untuk mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka sekolah bisa menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal dari sekolah lain atau tetap menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ditawarkan oleh Dinas atau mengembangkan muatan lokal yang lebih sesuai.

3. Rambu-rambu
Berikut ini rambu-rambu untuk diperhatikan dalam pelaksanaan muatan lokal.
a. Sekolah yang mampu mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata pelajaran muatan lokal. Apabila sekolah belum mampu mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar beserta silabusnya sekolah dapat melaksanakan muatan lokal berdasarkan kegiatan-kegiatan yang direncanakan oleh sekolah, atau dapat meminta bantuan kepada sekolah yang terdekat yang masih dalam satu daerahnya. Bila beberapa sekolah dalam satu daerah belum mampu mengembangkan dapat meminta bantuan TPK daerah, atau meminta bantuan dari LPMP di propinsinya.
b. Bahan kajian hendaknya sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang mencakup perkembangan pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan sosial peserta didik. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diatur sedemikian rupa agar tidak memberatkan peserta didik dan tidak mengganggu penguasaan pada kurikulum nasional. Oleh karena itu dalam pelaksanaan muatan lokal dihindarkan adanya pekerjaan rumah (PR).
c. Program pengajaran hendaknya dikembangkan dengan melihat kedekatan dengan peserta didik yang meliputi dekat secara fisik dan secara psikis. Dekat secara fisik maksudnya terdapat dalam lingkungan tempat tinggal dan sekolah peserta didik, sedangkan dekat secara psikis maksudnya bahwa bahan kajian tersebut mudah dipahami oleh kemampuan berpikir dan mencernakan informasi sesuai dengan usianya. Untuk itu, bahan pengajaran hendaknya disusun berdasarkan prinsip belajar yaitu: (1) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (2) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (3) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (4) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit. Selain itu bahan kajian/pelajaran hendaknya bermakna bagi peserta didik yaitu bermanfaat karena dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
d. Bahan kajian/pelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi guru dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar seperti buku dan nara sumber. Dalam kaitan dengan sumber belajar, guru diharapkan dapat mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan memanfaatkan potensi di lingkungan sekolah, misalnya dengan memanfaatkan tanah/kebun sekolah, meminta bantuan dari instansi terkait atau dunia usaha/industri (lapangan kerja) atau tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu guru hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik aktif dalam proses belajar mengajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial.
e. Bahan kajian muatan lokal yang diajarkan harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pengajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik. Namun demikian bahan kajian muatan lokal tertentu tidak harus secara terus-menerus diajarkan mulai dari kelas I s.d VI atau dari kelas VII s.d IX, dan X s.d XII. Bahan kajian muatan lokal juga dapat disusun dan diajarkan hanya dalam jangka waktu satu semester, dua semester atau satu tahun ajaran.
f. Alokasi waktu untuk bahan kajian/pelajaran muatan lokal perlu memperhatikan jumlah minggu efektif untuk mata pelajaran muatan lokal pada setiap semester.

4. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Contoh:
Mata Pelajaran : Karawitan
Kelas : IV
Semester : 1
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1. Menabuh gamelan intro lagu
1. Menabuh saron
2. Menabuh demung
3. Menabuh bonang
4. Menabuh jenglong
5. Menabuh goong
6. Menabuh bersama-sama
2. Menabuh gamelan iringan lagu
1. Menabuh saron satu
2. Menabuh saron dua
3. Menabuh bonang
4. Menabuh demung
5. Menabuh jenglong
6. Menabuh goong
7. Menabuh gamelan bersama-sama
3. Menabuh gamelan intro lagu dan iringan lagu
1. Menabuh gamelan intro lagu bersama sesuai berdasarkan kelompok masing-masing
2. Menabuh gamelan iringan lagu bersama berdasarkan kelompoknya


5. Silabus
Komponen silabus minimal memuat:
a). identitas sekolah,
b). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar,
c). Materi Pembelajaran,
d). Indikator,
e). Kegiatan Pembelajaran,
f). Alokasi waktu,
g). Penilaian, dan
h). Sumber Belajar
Dalam implementasinya, silabus dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti oleh masing-masing guru. Silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan masukan hasil evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan pembelajaran), dan evaluasi rencana pembelajaran.

6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Setelah silabus selesai dibuat, maka guru perlu merencanakan pelaksanaan pembelajaran untuk satu kali tatap muka. Adapun komponen dari RPP minimal memuat:
a). Tujuan pembelajaran,
b). Indikator,
c). Materi Ajar/Pembelajaran,
d). Kegiatan Pembelajaran,
e). Metode Pengajaran,
f). Sumber Belajar

7. Penilaian
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian.
a.  Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi.
b. Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
c. Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan siswa.
d. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.
e. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara, maupun produk/hasil melakukan observasi lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas. Jakarta


Anonim, 2008. Permendiknas No.19 Tahun 2008 tentang Standar Nasional Pendidikan. Depdiknas. Jakarta


Anonim, 2010. Buku Pedoman Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL). Depdiknas. Jakarta.


Curtis R. Finch and John R. Crunkilton. (1979) Curriculum Development in Vocational and    Technical Education. Boston, London, Sydney: Allyn and Bacon, Inc.


Depdiknas. 2006. MODEL MATA PELAJARAN MUATAN LOKAL. JAKARTA: DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


Ralph C. Wenrich and J. William Wenrich. Leadership in administration of vocational and technical education. Charles E Merrill Publishing Company A Bell & Howell Company Columbus, Ohio.


Rohman, Fathur. 2013. “Mengenal KTSP dengan segala Problematikanya” dalam http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/07/mengenal-ktsp-dengan-segala-problematikanya-523245.html. Diunduh 31 Maret 2013 pukul 19.47 WIB.