Minggu, 06 Oktober 2013

Teori Fungsionalisme

May Anjar's World: Bagi Ilmu:

by: Mei Anjar Kumalasari
TEORI FUNGSIONALISME

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Budaya adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia. Dengan definisi seperti itu maka kebudayaan mempunyai nilai pragmatis karena sebelum manusia mencipta yang terlebih dahulu ada adalah tujuan dari penciptaan itu sendiri. Dalam kehidupan, antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, bahkan ada yang mengungkapkan bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan. Hampir semua tindakan manusia itu merupakan kebudayaan.
Teori fungsi kebudayaan yang diungkapkan oleh Malinowski merupakan penegasan dari definisi yang diungkapkan di awal kalau setiap kebudayaan harus memberikan manfaat untuk masyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Adapun budaya yang merupakan hasil belajar manusia termasuk dalam proses penyepakatan sebuah budaya, dalam proses belajar itu masyarakat menelaah kekurangan dan kelebihan yang akan mereka rasakan. Ketika kekurangan dari sebuah budaya terlalu banyak dan beresiko untuk dipertahankan maka dengan sendirinya kebudayaan akan tersingkir. Dalam hal ini, teori fungsi kebudayaan lebih memperinci lagi kedudukan kebudayaan di masyarakat melalui fungsinya.
Setelah mengetahui begitu besar hubungan antara teori fungsi dengan realita kebudayaan di masyarakat, maka dalam penulisan makalah ini akan dibahas mengenai teori fungsionalisme dalam kebudayaan.
1.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1.    Apa hakikat fungsionalisme?
2.    Bagaimana pandangan para tokoh mengenai fungsionalisme?
3.    Bagaimana proses perkembangan teori fungsionalisme?
4.    Apa kelebihan dan kekurangan teori fungsionalisme?
5.   Bagaimana pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam realita kebudayaan di masyarakat?
1.3        Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat  disimpulkan tujuan penulisan sebagai berikut.
1.   Mengetahui hakikat fungsionalisme.
2.   Mengetahui pandangan para tokoh mengenai fungsionalisme.
3.   Mengetahui proses perkembangan teori fungsionalisme.
4.   Mengetahui kelebihan dan kekurangan teori fungsionalisme.
5.   Mengetahui pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam realita kebudayaan di masyarakat.
1.4        Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembaca dalam mempelajari teori fungsionalisme sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembaca mengenai teori fungsionalisme serta aplikasinya dalam kehidupan.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1        Hakikat Fungsionalisme
Kata fungsionalisme merupakan kata dengan akhiran –isme. Dalam bahasa Indonesia, kata ini berarti sebuah paham. Paham adalah salah satu bentuk aliran atau cara berpikir. Sejauh ini, kata fungsi dimaknai sebagai kegunaan suatu hal. Setiap benda, hal, kejadian, atau peristiwa mestinya memiliki sebuah fungsi. Apa bila tidak dilihat dari segi fungsinya, dapat pula dilihat dari segi kegunaan.
Seperti yang sudah diungkapkan pada subbab sebelumnya, bahwa fungsional menekankan pada fungsi-fungsi. Ini dapat diterapkan mulai dari hal-hal sederhana sampai kompleks. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam sebuah jabatan suatu instansi merupakan implementasi dari sebuah fungsi kerja.
Fungsionalisme adalah sebuah studi tentang operasi mental, mempelajari fungsi-fungsi kesadaran dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan lingkungannya. Fungsionalisme menekankan pada totalitas dalam hubungan pikiran and perilaku. Dengan demikian, hubungan antar manusia dengan lingkungannya merupakan bentuk manifestasi dari pikiran dan perilaku.
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme yang diterangkan oleh David Kaplan dan Robert A. Manners dalam Teori Budaya, adalah penekanan dominan dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi sistem sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis (Kaplan & Manners, 2002).
Dalam tafsir fungsionalis, fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan. Di samping itu para fungsionalis juga menyatakan bahwa fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural.
Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup organisme itu. dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional ialah asumsi (terbuka atau tersirat) bahwa semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Jadi, sistem budaya memiliki kebutuhan yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat hidup.
Aliran fungsionalisme menganggap bahwa untuk melakukan sebuah tindakan atau lakuan diperlukan sebuah prosedur berpikir, cukup kompleks, dan jangka panjang. Terhadap apa-apa yang akan dilakukan tersebut, sudah memiliki kerangka berpikir. Aliran ini sangat melihat adanya faktor internal dan eksternal atas diri orangnya. Pendapat-pandapat tersebut sudah sejalan dengan pendapat para tokoh.
Orang yang berada di daerah pesisir secara struktur (sebuah pemikiran jangka pendek) menciptakan sebuah pola pikir untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Namun aliran fungsionalisme tidak sejalan dengan pola pikir tersebut. Aliran ini juga tidak meninggalkan faktor-faktor seperti kondisi tubuh, cuaca, kepunyaan dan hasil, dan kemampuan, sedemikian rupa sehingga orang pesisir memiliki pola berpikir yang menghasilkan pemahaman untuk tidak harus menjadi nelayan. Secara mudah bisa menjadi nelayan hanya jika dalam situasi dan kondisi yang tepat. Orang yang memiliki pandangan seperti ini, sangat pengerti kapan harus menjadi nelayan, dan kapan harus menjadi – peternak misalnya.
Dalam perkembangannya sekarang ini, berdasarkan alur berpikirnya, manusia dibagi atas empat aliran besar. Pertama, aliran behaviorisme yang menggunakan pola pikir berperasaan. Insting menjadi faktor penentu dalam hal ini. Apa bila sebuah kebudayaan yang hanya mengandal insting seseorang, akan diklasifikasikan dalam kelompok ini.
Kedua, strukturalisme merupakan paham dengan pola berpikir jangka pendek. Tidak mengenal peninjauan atas faktor-faktor lain pun memiliki pengaruh sangat tinggi. Penekanan dalam hal ini adalah secara struktur saja. Aliran ini pun dapat disebut aliran profesional, sesuatu itu berjalan sesuai dengan perannya.
Ketiga, fungsionalisme yang menggunakan pola pikir peninjauan terhadap fungsi. Keempat, fungsionalisme-struktural yang merupakan perpaduan antara kelebihan ditingkat struktur dan tingkat fungsional. Aliran keempat ini mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada pada tingkat sebelumnya.
2.2        Pandangan Para Tokoh Mengenai Fungsionalisme
Fungsionalisme mempunyai 2 (dua) aliran, namun pendiri fungsionalisme itu sendiri adalah William James (1842-1910), James termasuk pendukung aliran evolusionalisme dan bersamaan John Dewey mendirikan aliran fungsionalisme. James tergolong orang yang berpikiran bebas. Yaitu bebas mengeluarkan dan mengembangkan ide atau kritik yang orisinil. Salah satu ciri jalan pikirannya adalah berusaha sedekat mungkin dengan kenyataan (Lydia & Maratus, 2009).
1. Aliran Fungsionalisme Chicago
Terdapat banyak tokoh Fungsionalisme di Universitas Chicago sehingga dapat dikatakan menjadi aliran tersendiri yang disebut Fungsionalisme Chicago.
a. John Dewey (1859-1952)
Ø  Pada tahun 1886 menulis buku yang berjudul “Psychology” dan dalam bukunya ini beliau mengenalkan cara orang Amerika belajar ppsikologi yaitu melalui cara pragmatisme
Ø  Sarjana-sarjana di Amerika kurang tertarik dengan pertanyaan “Apakah jiwa itu?” tetapi lebih tertarik pada pertanyaan “Apakah kegunaan jiwa?”
Ø  John Dewey juga menganjurkan metode yang Ia sebut dengan Learning by doing (belajar sambil melakukan)
Ø  Dewey berpendapat bahwa segala pemikiran dan perbuatan harus selalu mempunyai tujuan, oleh karena alasan itulah ia menentang teori elementarisme.
b. James Rowland Angell
James memiliki tiga pandangan terhadap fungsionalisme, yaitu:
Ø  Fungsionalisme adalah psikologi tentang “mental operation” (aktivitas bekerjanya jiwa) sebagai lawan dari psikologi tentang elemen-elemen mental,
Ø  Fungsionalisme adalah psikologi tentang kegunaan dasar-dasar kesadaran. Ini juga disebut sebagai teori emergensi dari kesadaran,
Ø  Fungsionalisme adalah psiko-phisik, yaiitu psikologi tentang keseluruhan organisme yang terdiri dari badan dan jiwa.
2. Aliran Fungsionalisme Columbia
Selain di Chhicago, Fungsionalisme juga mempunyai banyak tokoh di Teachers College Columbia yang disebut aliran Columbia. Ciri aliran ini adalah kebebasannya meneliti tingkah laku yang dianggap sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan psikologi tak perlu ersifat deskriptif karena yang penting adalah korelasi tingkah laku dengan tingkah laku lain.
a. James MC Keen Cattel (1866-1944)
Keen Cattel mengusung teori mengenai kebebasan dalam mempelajari tingkah laku. Ia mempunyai dua pandangan mengenai aliran fungsionalisme, yaitu:
Ø  Fungsionalisme tidak perlu menganut paham dualisme karena manusia dianggap sebagai keseluruhan yang merupakan suatu kesatuan,
Ø  Fungsionalisme tidak perlu deskriptif dalam mempelajari tingkah laku, karena yang penting adalah fungsi tingkah laku. Sehingga yang harus dipelajari adalah hubungan (korelasi) antara satu tingkah laku dengan tingkah laku lainnya.
Ø  Dapat dikatakan bahwa semua cabang-cabang psikologi modern merupakan perkembangan dari fungsionalisme. Dalam percobaanya Cattel menemukan “kapasitas individual” kemudian ia menciptakan alat-alat untuk mengukur kapasitas, kemampuan individual yang sekaran kita kenal sebagai psikotes / mental test.
b.Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Edward Lee pernah bekerja di “Teachers College of Columbia” dibawah kepemimpinan James Mc. Keen Cattel. Thorndike lebih menekankan penelitiannya pada cara dan dasar belajar. Dasar pembelajaran yaitu asosiasi dan cara coba-salah (trial and error). Ia merumuskan beberapa prinsip:
Ø  The Law of Effect yaitu hukum yang menyatakan intensitas hubungan antara stimulus-respons akan meningkat jika mengalami keadaan yang menyenangkan, sebaliknya akan melemah jika keadaan tak menyenangkan.jika terjadi suatu keadaan akan terjadi asosiasi dengan keadaan yang sebelumnya yaitu hubungan stimulus-respon atau responsrespons.
Ø  The Law of Exercise atau The Law of use and disuse adalah hukum bahwa stimulus-respons dapat timbul atau didorong dengan latihan berulangulang. Jika tak dilatih hubungan tersebut akan melemah dan kemudian menghilang.
Berdasarkan kedua aliran fungsionalisme di atas, maka dapat dirumuskan bahwa aliran fungsionalisme memiliki beberapa ciri khas, yaitu :
  1. Menekankan pada fungsi mental dibandingkan dengan elemen-elemen mental.
  2. Fungsi-fungsi psikologis adalah adaptasi terhadap lingkungan sebagaimana adaptasi biologis Darwin. Kemampuan individu untuk berubah sesuai tuntutan dalam hubungannya dengan lingkungan adalah sesuatu yang terpenting.
  3. Sangat memandang penting aspek terapan atau fungsi dari psikologi itu sendiri bagi berbagai bidang dan kelompok manusia.
  4. Aktivitas mental tidak dapat dipisahkan dari aktivitas fisik, maka stimulus dan respons adalah suatu kesatuan.
  5. Psikologi sangat berkaitan dengan biologi dan merupakan cabang yang berkembang dari biologi. Maka pemahaman tentang anatomi dan fungsi fisiologis akan sangat membantu pemahaman tentang fungsi mental.
  6. Menerima berbagai metode dalam mempelajari aktivitas mental manusia, meskipun sebagian besar riset dilakukan di Univ. Chicago ( pusat perkembangn fungsionalisme) menggunakn metode eksperimen, pada dasarnya aliran fungsionalisme tidk berpegang pada satu metode inti. Metode yang digunnakan sangat tergantung dari permasalahan yang dihadapi.
2.3        Perkembangan fungsionalisme
Yang melatar belakangi lahirnya fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi, dan sejarah kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan mereka selalu memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul dari hasil atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul antara lain disebabkan karena, studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah tersedia dalam budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk memperoleh data tersebut (Ahimsa dalam Andi, 2010). Meskipun ada beberapa ilmuwan yang telah melakukan penelitian lapangan, sampai pada sejarah kebudayaan pun, seperti yang dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya hingga abad ke 20, masih juga terdapat kelemahan-kelemahan didalamnya. Terbukti dengan berbagai kritik yang dilontarkan pada teori tersebut.
Bronis Law Malinowski adalah salah satu ilmuwan yang menolak pendekatan sejarah (historical approach) dalam antropologi. Dari penelitian Malinowski ini, disadari bahwa, adanya keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk mempelajari masyarakat sederhana di luar Eropa, yang belum mengenal tulisan dan juga belum pernah ditulis orang lain (Ahimsa dalam Andi, 2010). Sejarah yang dipahami oleh masyarakat di luar Eropa (termasuk di Indonesia), adalah sejarah yang mereka yakini pernah ada di kehidupan sebelum mereka dalam sebuah dongeng atau mitos, karena di jaman itu memang belum mengenal tulisan. Misalnya, budaya slametan di jawa yang pernah di teliti oleh Clifford Gertz, dalam bukunya “relegion of java” menerangkan bahwa slametan menjaga mereka dari gangguan makhluk halus sehingga mereka tidak lagi merasa sakit, sedih, atau bingung. Slametan juga dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, memulai suatu rapat politik dan mungkin masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang bisa di slameti (dilakukan slametan), dan itu dilakukan sejak dulu oleh leluhur mereka yang diyakini mempunyai kisah tersendiri (Clifford Gertz dalam Andi, 2010).
Dari situlah kemudian terlihat gejala-gejala paradigma fungsionalisme yang dibawa oleh Bronis Law Malinowski, seorang tokoh dalam sejarah teori antropologi yang lahir di Cracow, Polandia pada tahun 1884, seorang putera bangsawan dan guru besar sastrawan slavik di Polandia. Teori ini diilhaminya dari teori belajar, atau learning theory, yang sangat menarik perhatiannya, sehingga dipakainya untuk memberi dasar eksak bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan (Koentjaraningrat dalam      Kaplan & Manners, 2002). Dari ketertarikannya tentang teori tersebut, kemudian ia terapkan pada sebuah tulisan mengenai aspek-aspek pada masyarakat pada kepulauan Trobrian yang berada di bagian utara kepulauan Masim, sebelah tenggara Papua Niugini, yang pernah ia teliti pada tahun 1914 (Koentjaraningrat dalam Kaplan & Manners, 2002). Secara tidak langsung ia telah mengintroduksikan sebuah paradigma baru dalam ilmu antropologi, kemudian muncul reaksi dari kalangan keilmuan antropologi, yang memberikan dorongan kepadanya untuk mengembangkan teori tersebut, dan terciptalah sebuah paradigma baru yang tidak historis ini yakni Fungsionalisme.
Di lain hal Radcliffe-Brown, ilmuwan yang mendeskripsikan masyarakat di kepulauan Andaman (penduduk Negrito) sebelah utara Pulau Sumatra antara tahun 1906 dan 1908, sebagai desertasinya yang memang sifatnya lebih struktural, tapi itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional. Kemudian buku itu diterbitkan bersamaan dengan buku Malinowski pada tahun 1922. Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta murid-murid mereka, peradigma fungsionalisme yang kemudian disebut fungsionalisme-struktural, berhasil menjadi paradigma yang menguasai ilmu-ilmu social di Barat tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti teori fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi ritual, fungsi kekerabatan, fungsi sistem politik, fungsi hukum dan sebagainya (Ahimsa dalam Andi, 2010).
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Artinya, menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukanlah suatu hal yang kebetulan (Kaplan dan Manners, 2002:76). Fungsionalisme, menurut para ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural. Selain berminat melacak cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam dan sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang menjelaskan mengapa unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya tertentu atau setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan. Ketika Malinowski menjelaskan magic Trobrian sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang tidak di pahami, dia seolah menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic itu dalam budaya masyarakat Trobriand.
2.4        Kelebihan dan Kekurangan Teori Fungsionalisme
Menurut Kaplan dan Manners dalam bukunya mengatakan bahwa dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni, (diktum metodologis), bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya, artinya kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, kemungkinan lain adalah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tqanpa kaitan yang muncul disana-sini karena kebetulan historis. Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu pada (analogi dengan organisme), artinya ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional adalah asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa semua sisem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Atau sistem budaya memiliki kebutuhan (mungkin dikatakan sebagai “kebutuhan sosial “ ala Radcliffe-Brown, atau diungkapkan dalam peristilahan biologis individual ala Malinowski) yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup.dapatlah diduga bahwa jika kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan “mati”. Atau ia akan berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan budaya, dan kompleks kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya sebagai spesifikasi hubungan dengan suatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal tersebut. Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi ikut berperan memelihara sistem besar itu atau sebagian tertentu darinya (Kaplan dan Manners, 2002: 77-78).
Dari uraian diatas menimbulkan asumsi bahwa kesempurnaan paradigma fungsionalis masih harus dibumbui dengan beberapa aspek yang tanpanya bisa jadi wujud fungsionalis adalah sebuah paradigma yang stagnan atau bahkan bisa dikatakan mati. Artinya paradigma ini masih mempunyai kelemahan, meskipun secara eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan keadaan sebuah kebudayaan. Kelemahan-kelemahan yang ada mungkin bisa di kategorikan sebagai berikut.
1.       Manakala analisis fungsional berupaya untuk tidak berhenti pada metodologi pencarian hubungan struktural bamun terus mengarah ke suatu teori tentang asal mula atau persistensi struktur tertentu, maka ia terkendala oleh keterbatasan logis yang itu ke itu juga. Karena pelekatan fungsi pada suatu institusi selalu merupakan hal yang bersifat post hoc.
2.       Penjelasan fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang institusi beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul ia jelaskan. Misalnya, dikatakan bahwa daam masyarakat X pelaksanaan ritual tertentu memupuk solidaritas sosial sehingga mendukung sistem di mana ritual itu menjadi bagian. Marilah kita abaikan dahulu apa yang dimaksud dengan “solidaritas sosial” dan “memelihara sistem” itu. Kita melihat suatu masyarakat sedang mendenyut, dan kita saksikan para warga pribuminya melaksanakan ritual. Memang sangat masuk akal bila kedua hal itu lalu dikait-kaitkan secara yang tersebut diatas, akan tetapi penjelasan macam apakah yang telah kita berikan mengenai ritual itu, baik mengenai asal-mula maupun kesestarian pelaksanaannya?
3.       Analisis fungsional mempersoalkan pemeligaraan diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan perubahan struktural. Untuk menjelaskan perubahan struktural, orang harus mempertimbangkan bobot kausal variebel-variabel tertentu. Artinya, haruslah ditentukan unsur, institusi, atau struktur mana yang lebih mendasar, lebih “fungsional” daripada yang lain-lain.
Dari beberapa kelemahan di atas kemudian muncullah tanggapan-tanggapan terkait solusi yang menjadi jalan keluar dari kelemahan-kelemahan yang ada, dan deskripsi atas paradigma fungsionalisme ini.
1.       Kaplan dan Manners mengatakan bahwa selama fungsi sosial yang sama itu dapat dilaksanakan oleh berbagai institusi, atau sepanjang institusi yang satu itu dapat melaksanakan berbagai fungsi, penjelasan semacam itu sangat sulit atau bahkan mustahil. Penjelasan fungsional tentang persistensi suatu institusi pun semakin persis sama muskilnya.
2.       Suatu institusi atau kegiatan bedaya dikatakasn fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu, dan disfungsional apabila melemahkan adaptasi. Dan yang menjadi masalah pokok ialah bahwa kita tidak dapat mengatakan kapan suatu institusi lebih bersifat fungsional dari pada disfungsional, bila hanya menggunakan tinjauan empirik sederhana.
3.       Syarat minimalnya, untuk analisis fungsional yang memadai adalah, (1) suatu konsepsi tentang sistem, (2) daftar syarat fungsional untuk sistem itu, (3) definisi berbagai sifat atau “status” sistem yang dalam keadaan terpelihara, (4) pernyataan tentang kondisi eksternal sistem tersebut dan dengan demikian dapat di control, (5) pengetahuan tertentu tentang mekanisme internal dalam pemeliharaan sifat sistem itu atau dalam mempertahankannya agar berada dalam batas tertentu.
4.       Jika minat kita tidak sekedar pada kronologi atau pengisahan sejarah alam, kita harus menggunakan proses klasifikasi, kategorisasi, serta menunjukkan kemungkinan hubungan antara tipe-tipe kejadian. Disinilah perspektif fungsional dan perspektif evolusi hafus dikawinkan dengan perspektif historis. Seban hanya dengan menggabungkan fungsionalisme, evolusionisme, dan sejarah itulah kita baru dapat mulai merumuskan teori.
2.5        Pandangan Teori Fungsionalisme Malinowski dan Aplikasinya dalam Realita Kehidupan di Masyarakat
Secara garis besar Bronislaw Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya (Andi, 2010).
Malinowski berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut pendapatnya, ada tiga tingkatan yang harus terekayasa dalam kebudayaan, yaitu:
1.       kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi
2.       kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan.
3.       kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian. 
        
Tulisan “Argonauts of the Western Pacific” (1922) melukiskan tentang sistem Kula yakni berdagang yang disertai upacara ritual yang dilakoni oleh penduduk di kepulauan Trobriand dan kepulauan sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan perahu kecil bercadik menuju pulau lainnya yang jaraknya cukup jauh. Benda-benda yang diperdagangkan dilakukan dengan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga dan bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu arah mengikuti arah jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar berlawanan dari arah kalung kerang dipertukarkan.
        Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk perkeonomian masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik, namun disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan sistem perdagangan atau ekonomi yang saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka etnografi yang saling berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari tulisan tersebut oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional. Selain dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat lugas ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat memahami  apa yang objek lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :
1.    saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2.    konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3.    unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4.    esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia. 
Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
Dalam konsep fungsionalisme Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Seperti kebutuhan gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction), kenyamanan (body comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan (movement), dan pertumbuhan (growth). Setiap lembaga sosial (Institution, dalam istilah Malinowski) memiliki bagian-bagian yang harus dipenuhi dalam kebudayaan.
Sebenarnya inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (Nana, 2011). Kebutuhan itu meliputi kebutuhan biologis maupun skunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. Sebagai contoh, Malinowski menggambarkan bahwa cinta dan seks yang merupakan kebutuhan biologis manusia, harus diperhatikan bersama-sama dalam konteks pacaran, pacaran menuju perkawinan yang menciptakan keluarga, dan keluarga tercipta menjadi landasan bagi kekerabatan dan klen, dan bila kekerabatan telah tercipta akan ada sistem yang mengaturnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai sistem kekerabatan dan fungsinya dalam kebudayaan.
Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya yang muncul akibat kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain . Masing-masing dari kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya  agar dapat menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.      
Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan makan melalui bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses belajar adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan, nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan, timbul pula kebutuhan akan agama.
Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu  dapat memantapkan kerjasama yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.  
Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki daya kerja, meredam kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan agama, magik dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magik adalah “ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.
Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai dengan pemikiran Bronislaw Malinowski, yang menguraikan tentang kebutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut Maslows Hierarchy of Needs, menguraikan tingkat kebutuhan yang dibutuhkan  manusia  ada lima tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :
1.  Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa haus, lapar, istirahat dan aktivitas.
2.  Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan cemas atau kekhawatiran.
3.  Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasing sayang untuk  mendukung eksistensinya
4.  Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan orang lain.
5.  Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan diri pribadi.
Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan kebutuhan  yang ideal. Namun dalam kenyataannya untuk memenuhi setiap kebutuhan itu harus disertai faktor pendukung. Bila kita amati dalam kehidupan masyarakat, masih banyak hal yang masih perlu diperbuat dan diusahakan oleh setiap individu maupun masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya dari tingkat paling bawah sampai ketingkatan yang teratas.

BAB III
PENUTUP
3.1        Simpulan
Aliran fungsionalisme merupakan jenis level pola pikir jangka panjang. Aliran ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang. Apabila ada seseorang yang ingin melangkah ke suatu tempat, jalan berpikir secara fungsionalisme menuntut untuk mengikutsertakan faktaor-faktor yang tidak secara langsung terlibat. Barulah dapat ditelusur simpulan atas hasil pemikirannya tersebut.
Aliran fungsionalisme ini memiliki kekurangan dalam hal profesionalitas. Sebagai analogi, apabila sebuah piring digunakan tidak hanya sebagai tempat nasi, tetapi juga sebagai wakul atau yang lainnya akan berdampak pada hakikat dari piring tersebut. Bahwa secara struktur memang benar bahwa piring adalah tempat nasi, dan sendok adalah alat untuk mengambil nasi. Tetapi bila piring digunakan untuk mengambil nasi, maka kedudukan piring menjadi tidak jelas. Analagi sederhana tersebut sekiranya dapat menjelaskan garis besar teori fungsionalisme.
3.2        Saran
Kita sebagai mahasiswa yang hidup di tengah-tengah masyarakat hendaknya memahami akan kebudayaan sekitar. Dalam memahami kebudayaan yang semakin kompleks, maka diperlukan berbagai teori atau paham agar kita dapat mengkajinya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi terpelajar hendaknya berusaha menambah ilmu sebanyak mungkin agar bermanfaat bagi kehidupan. Semakin banyak ilmu yang kita kuasai maka semakin berarti kita dalam kehidupan ini.



DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, David & Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lydia, Sepvirna E. P & Maratus Sholihah. 2009. Aliran Fungsionalisme (jurnal online), dalam http://psikologi.or.id diunduh pada 24 September 2013 pukul 19.32 wib.
Widya, Nana. 2011. Aplikasi Teori Fungsional Struktural, dalam http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html diunduh 16 September 2013 pukul 14.35 wib.
Yusuf, Andi. 2010. Fungsionalisme Malinowski. dalam http://oechoe.blogspot.com/2010/04/fungsionalisme-malinowski.html diunduh pada 22 September 2013 pukul 12.48 wib.

Tidak ada komentar: