by: Mei Anjar Kumalasari
TEORI FUNGSIONALISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Budaya adalah hasil
cipta, karya, dan karsa manusia. Dengan definisi seperti itu maka kebudayaan
mempunyai nilai pragmatis karena sebelum manusia mencipta yang terlebih dahulu
ada adalah tujuan dari penciptaan itu sendiri. Dalam kehidupan, antara manusia
dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, bahkan ada yang
mengungkapkan bahwa manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan. Hampir semua
tindakan manusia itu merupakan kebudayaan.
Teori fungsi kebudayaan
yang diungkapkan oleh Malinowski merupakan penegasan dari definisi yang
diungkapkan di awal kalau setiap kebudayaan harus memberikan manfaat untuk
masyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan
bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan
bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam
kebudayaan yang bersangkutan.
Adapun budaya yang
merupakan hasil belajar manusia termasuk dalam proses penyepakatan sebuah
budaya, dalam proses belajar itu masyarakat menelaah kekurangan dan kelebihan
yang akan mereka rasakan. Ketika kekurangan dari sebuah budaya terlalu banyak
dan beresiko untuk dipertahankan maka dengan sendirinya kebudayaan akan
tersingkir. Dalam hal ini, teori fungsi kebudayaan lebih memperinci lagi
kedudukan kebudayaan di masyarakat melalui fungsinya.
Setelah mengetahui
begitu besar hubungan antara teori fungsi dengan realita kebudayaan di
masyarakat, maka dalam penulisan makalah ini akan dibahas mengenai teori
fungsionalisme dalam kebudayaan.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa hakikat fungsionalisme?
2. Bagaimana pandangan para tokoh mengenai
fungsionalisme?
3. Bagaimana proses perkembangan teori
fungsionalisme?
4. Apa kelebihan dan kekurangan teori
fungsionalisme?
5. Bagaimana
pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam realita
kebudayaan di masyarakat?
1.3
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan
di atas, maka dapat disimpulkan tujuan
penulisan sebagai berikut.
1.
Mengetahui
hakikat fungsionalisme.
2.
Mengetahui
pandangan para tokoh mengenai fungsionalisme.
3.
Mengetahui
proses perkembangan teori fungsionalisme.
4.
Mengetahui
kelebihan dan kekurangan teori fungsionalisme.
5.
Mengetahui
pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam
realita kebudayaan di masyarakat.
1.4
Manfaat
Penulisan
Penulisan makalah ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembaca dalam mempelajari teori
fungsionalisme sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembaca
mengenai teori fungsionalisme serta aplikasinya dalam kehidupan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Hakikat Fungsionalisme
Kata fungsionalisme merupakan kata dengan akhiran –isme. Dalam
bahasa Indonesia, kata ini berarti sebuah paham. Paham adalah salah satu bentuk
aliran atau cara berpikir. Sejauh ini, kata fungsi dimaknai sebagai
kegunaan suatu hal. Setiap benda, hal, kejadian, atau peristiwa mestinya
memiliki sebuah fungsi. Apa bila tidak dilihat dari segi fungsinya, dapat pula
dilihat dari segi kegunaan.
Seperti yang sudah diungkapkan pada subbab sebelumnya, bahwa fungsional
menekankan pada fungsi-fungsi. Ini dapat diterapkan mulai dari hal-hal
sederhana sampai kompleks. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam sebuah jabatan suatu
instansi merupakan implementasi dari sebuah fungsi kerja.
Fungsionalisme adalah sebuah studi tentang operasi mental, mempelajari
fungsi-fungsi kesadaran dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan
lingkungannya. Fungsionalisme menekankan pada totalitas dalam hubungan pikiran
and perilaku. Dengan demikian, hubungan antar manusia dengan lingkungannya
merupakan bentuk manifestasi dari pikiran dan perilaku.
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme yang diterangkan oleh David
Kaplan dan Robert A. Manners dalam Teori Budaya, adalah penekanan
dominan dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama
beberapa dasawarsa silam. Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat
mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum
metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi sistem sistemik budaya. Artinya,
kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau
struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat.
Kemungkinan lain ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri
sendiri, khas dan tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan
historis (Kaplan & Manners, 2002).
Dalam tafsir fungsionalis, fungsionalisme adalah metodologi untuk
mengeksplorasi saling ketergantungan. Di samping itu para fungsionalis juga
menyatakan bahwa fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural.
Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu
pada analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem
sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya
saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan,
stabilitas, dan kelestarian hidup organisme itu. dengan demikian dasar semua
penjelasan fungsional ialah asumsi (terbuka atau tersirat) bahwa semua sistem
budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan
eksistensinya. Jadi, sistem budaya memiliki kebutuhan yang semuanya harus
dipenuhi agar sistem itu dapat hidup.
Aliran fungsionalisme menganggap bahwa untuk melakukan sebuah tindakan
atau lakuan diperlukan sebuah prosedur berpikir, cukup kompleks, dan jangka
panjang. Terhadap apa-apa yang akan dilakukan tersebut, sudah memiliki kerangka
berpikir. Aliran ini sangat melihat adanya faktor internal dan eksternal atas
diri orangnya. Pendapat-pandapat tersebut sudah sejalan dengan pendapat para
tokoh.
Orang yang berada di daerah pesisir secara struktur (sebuah pemikiran
jangka pendek) menciptakan sebuah pola pikir untuk melakukan pekerjaan sebagai
nelayan. Namun aliran fungsionalisme tidak sejalan dengan pola pikir tersebut.
Aliran ini juga tidak meninggalkan faktor-faktor seperti kondisi tubuh, cuaca,
kepunyaan dan hasil, dan kemampuan, sedemikian rupa sehingga orang pesisir
memiliki pola berpikir yang menghasilkan pemahaman untuk tidak harus menjadi
nelayan. Secara mudah bisa menjadi nelayan hanya jika dalam situasi dan kondisi
yang tepat. Orang yang memiliki pandangan seperti ini, sangat pengerti kapan
harus menjadi nelayan, dan kapan harus menjadi – peternak misalnya.
Dalam perkembangannya sekarang ini, berdasarkan alur berpikirnya, manusia dibagi atas empat aliran besar.
Pertama, aliran behaviorisme yang menggunakan pola pikir berperasaan. Insting
menjadi faktor penentu dalam hal ini. Apa bila sebuah kebudayaan yang hanya
mengandal insting seseorang, akan diklasifikasikan dalam kelompok ini.
Kedua, strukturalisme merupakan paham dengan pola berpikir jangka
pendek. Tidak mengenal peninjauan atas faktor-faktor lain pun memiliki pengaruh
sangat tinggi. Penekanan dalam hal ini adalah secara struktur saja. Aliran ini
pun dapat disebut aliran profesional, sesuatu itu berjalan sesuai dengan
perannya.
Ketiga, fungsionalisme yang menggunakan pola pikir peninjauan terhadap
fungsi. Keempat, fungsionalisme-struktural yang merupakan perpaduan antara
kelebihan ditingkat struktur dan tingkat fungsional. Aliran keempat ini mencoba
mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada pada tingkat sebelumnya.
2.2
Pandangan
Para Tokoh Mengenai Fungsionalisme
Fungsionalisme mempunyai 2 (dua) aliran, namun pendiri fungsionalisme
itu sendiri adalah William James (1842-1910), James termasuk pendukung aliran
evolusionalisme dan bersamaan John Dewey mendirikan aliran fungsionalisme.
James tergolong orang yang berpikiran bebas. Yaitu bebas mengeluarkan dan
mengembangkan ide atau kritik yang orisinil. Salah satu ciri jalan pikirannya
adalah berusaha sedekat mungkin dengan kenyataan (Lydia &
Maratus, 2009).
1. Aliran
Fungsionalisme Chicago
Terdapat banyak tokoh Fungsionalisme di Universitas Chicago sehingga
dapat dikatakan menjadi aliran tersendiri yang disebut Fungsionalisme Chicago.
a. John Dewey (1859-1952)
Ø
Pada
tahun 1886 menulis buku yang berjudul “Psychology” dan dalam bukunya ini beliau
mengenalkan cara orang Amerika belajar ppsikologi yaitu melalui cara
pragmatisme
Ø
Sarjana-sarjana
di Amerika kurang tertarik dengan pertanyaan “Apakah jiwa itu?” tetapi lebih
tertarik pada pertanyaan “Apakah kegunaan jiwa?”
Ø
John
Dewey juga menganjurkan metode yang Ia sebut dengan Learning by doing (belajar
sambil melakukan)
Ø
Dewey
berpendapat bahwa segala pemikiran dan perbuatan harus selalu mempunyai tujuan,
oleh karena alasan itulah ia menentang teori elementarisme.
b.
James Rowland Angell
James memiliki tiga pandangan terhadap fungsionalisme, yaitu:
Ø
Fungsionalisme
adalah psikologi tentang “mental operation” (aktivitas bekerjanya jiwa) sebagai
lawan dari psikologi tentang elemen-elemen mental,
Ø
Fungsionalisme
adalah psikologi tentang kegunaan dasar-dasar kesadaran. Ini juga disebut
sebagai teori emergensi dari kesadaran,
Ø
Fungsionalisme
adalah psiko-phisik, yaiitu psikologi tentang keseluruhan organisme yang
terdiri dari badan dan jiwa.
2. Aliran Fungsionalisme
Columbia
Selain di Chhicago, Fungsionalisme juga mempunyai banyak tokoh di
Teachers College Columbia yang disebut aliran Columbia. Ciri aliran ini adalah
kebebasannya meneliti tingkah laku yang dianggap sebagai kesatuan yang tak
dapat dipisahkan dan psikologi tak perlu ersifat deskriptif karena yang penting
adalah korelasi tingkah laku dengan tingkah laku lain.
a. James MC Keen Cattel
(1866-1944)
Keen Cattel mengusung teori mengenai kebebasan dalam mempelajari tingkah
laku. Ia mempunyai dua pandangan mengenai aliran fungsionalisme, yaitu:
Ø
Fungsionalisme
tidak perlu menganut paham dualisme karena manusia dianggap sebagai keseluruhan
yang merupakan suatu kesatuan,
Ø
Fungsionalisme
tidak perlu deskriptif dalam mempelajari tingkah laku, karena yang penting
adalah fungsi tingkah laku. Sehingga yang harus dipelajari adalah hubungan
(korelasi) antara satu tingkah laku dengan tingkah laku lainnya.
Ø
Dapat
dikatakan bahwa semua cabang-cabang psikologi modern merupakan perkembangan
dari fungsionalisme. Dalam percobaanya Cattel menemukan “kapasitas individual”
kemudian ia menciptakan alat-alat untuk mengukur kapasitas, kemampuan
individual yang sekaran kita kenal sebagai psikotes / mental test.
b.Edward Lee Thorndike
(1874-1949)
Edward Lee pernah bekerja di “Teachers College of Columbia” dibawah
kepemimpinan James Mc. Keen Cattel. Thorndike lebih menekankan penelitiannya
pada cara dan dasar belajar. Dasar pembelajaran yaitu asosiasi dan cara
coba-salah (trial and error). Ia merumuskan beberapa prinsip:
Ø
The
Law of Effect yaitu
hukum yang menyatakan intensitas hubungan antara stimulus-respons akan
meningkat jika mengalami keadaan yang menyenangkan, sebaliknya akan melemah
jika keadaan tak menyenangkan.jika terjadi suatu keadaan akan terjadi asosiasi
dengan keadaan yang sebelumnya yaitu hubungan stimulus-respon atau
responsrespons.
Ø
The
Law of Exercise atau The
Law of use and disuse adalah hukum bahwa stimulus-respons dapat timbul atau
didorong dengan latihan berulangulang. Jika tak dilatih hubungan tersebut akan
melemah dan kemudian menghilang.
Berdasarkan kedua aliran fungsionalisme di
atas, maka dapat dirumuskan bahwa aliran fungsionalisme memiliki beberapa ciri khas, yaitu :
- Menekankan pada fungsi mental dibandingkan dengan elemen-elemen mental.
- Fungsi-fungsi psikologis adalah adaptasi terhadap lingkungan sebagaimana adaptasi biologis Darwin. Kemampuan individu untuk berubah sesuai tuntutan dalam hubungannya dengan lingkungan adalah sesuatu yang terpenting.
- Sangat memandang penting aspek terapan atau fungsi dari psikologi itu sendiri bagi berbagai bidang dan kelompok manusia.
- Aktivitas mental tidak dapat dipisahkan dari aktivitas fisik, maka stimulus dan respons adalah suatu kesatuan.
- Psikologi sangat berkaitan dengan biologi dan merupakan cabang yang berkembang dari biologi. Maka pemahaman tentang anatomi dan fungsi fisiologis akan sangat membantu pemahaman tentang fungsi mental.
- Menerima berbagai metode dalam mempelajari aktivitas mental manusia, meskipun sebagian besar riset dilakukan di Univ. Chicago ( pusat perkembangn fungsionalisme) menggunakn metode eksperimen, pada dasarnya aliran fungsionalisme tidk berpegang pada satu metode inti. Metode yang digunnakan sangat tergantung dari permasalahan yang dihadapi.
2.3
Perkembangan
fungsionalisme
Yang melatar belakangi lahirnya fungsionalisme adalah karena
masih didapatkannya kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya
(evolusi, difusi, dan sejarah kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode
dengan baik, dan bahkan mereka selalu memperbaiki metode analisis dalam
penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul dari hasil atau kesimpulan dari
penelitian mereka seakan spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul antara lain
disebabkan karena, studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan
kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data
yang telah tersedia dalam budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian
lapangan untuk memperoleh data tersebut (Ahimsa dalam Andi, 2010). Meskipun ada
beberapa ilmuwan yang telah melakukan penelitian lapangan, sampai pada sejarah
kebudayaan pun, seperti yang dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya
hingga abad ke 20, masih juga terdapat kelemahan-kelemahan didalamnya. Terbukti
dengan berbagai kritik yang dilontarkan pada teori tersebut.
Bronis Law Malinowski adalah salah satu ilmuwan yang menolak
pendekatan sejarah (historical approach) dalam antropologi. Dari
penelitian Malinowski ini, disadari bahwa, adanya keterbatasan pendekatan
sejarah ketika digunakan untuk mempelajari masyarakat sederhana di luar Eropa,
yang belum mengenal tulisan dan juga belum pernah ditulis orang lain (Ahimsa
dalam Andi, 2010). Sejarah yang dipahami oleh masyarakat di luar Eropa
(termasuk di Indonesia), adalah sejarah yang mereka yakini pernah ada di
kehidupan sebelum mereka dalam sebuah dongeng atau mitos, karena di jaman itu
memang belum mengenal tulisan. Misalnya, budaya slametan di jawa yang pernah di
teliti oleh Clifford Gertz, dalam bukunya “relegion of java”
menerangkan bahwa slametan menjaga mereka dari gangguan makhluk halus sehingga
mereka tidak lagi merasa sakit, sedih, atau bingung. Slametan juga dapat
diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang
ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir,
kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit,
memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan, memulai suatu rapat politik dan
mungkin masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang bisa di slameti (dilakukan
slametan), dan itu dilakukan sejak dulu oleh leluhur mereka yang diyakini
mempunyai kisah tersendiri (Clifford Gertz dalam Andi, 2010).
Dari situlah kemudian terlihat gejala-gejala paradigma
fungsionalisme yang dibawa oleh Bronis Law Malinowski, seorang tokoh dalam
sejarah teori antropologi yang lahir di Cracow, Polandia pada tahun 1884,
seorang putera bangsawan dan guru besar sastrawan slavik di Polandia. Teori ini
diilhaminya dari teori belajar, atau learning theory, yang sangat
menarik perhatiannya, sehingga dipakainya untuk memberi dasar eksak bagi
pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu
kebudayaan (Koentjaraningrat dalam
Kaplan & Manners, 2002). Dari ketertarikannya tentang teori
tersebut, kemudian ia terapkan pada sebuah tulisan mengenai aspek-aspek pada
masyarakat pada kepulauan Trobrian yang berada di bagian utara kepulauan Masim,
sebelah tenggara Papua Niugini, yang pernah ia teliti pada tahun 1914
(Koentjaraningrat dalam Kaplan & Manners, 2002). Secara tidak langsung ia
telah mengintroduksikan sebuah paradigma baru dalam ilmu antropologi, kemudian
muncul reaksi dari kalangan keilmuan antropologi, yang memberikan dorongan
kepadanya untuk mengembangkan teori tersebut, dan terciptalah sebuah paradigma
baru yang tidak historis ini yakni Fungsionalisme.
Di lain hal Radcliffe-Brown, ilmuwan yang mendeskripsikan
masyarakat di kepulauan Andaman (penduduk Negrito) sebelah utara Pulau Sumatra
antara tahun 1906 dan 1908, sebagai desertasinya yang memang sifatnya lebih
struktural, tapi itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi
secara fungsional. Kemudian buku itu diterbitkan bersamaan dengan buku
Malinowski pada tahun 1922. Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brown serta
murid-murid mereka, peradigma fungsionalisme yang kemudian disebut
fungsionalisme-struktural, berhasil menjadi paradigma yang menguasai ilmu-ilmu
social di Barat tahun 1940-1960an. Berbagai teori fungsional-struktural
mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di era tersebut, seperti teori fungsi
kebudayaan, fungsi mitos, fungsi ritual, fungsi kekerabatan, fungsi sistem
politik, fungsi hukum dan sebagainya (Ahimsa dalam Andi, 2010).
Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan
dominan dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama
beberapa dasawarsa silam. Artinya, menonjolnya fungsionalisme dan kerja
lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukanlah suatu hal yang kebetulan
(Kaplan dan Manners, 2002:76). Fungsionalisme, menurut para ilmuwan-ilmuwannya
adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi untuk
mengeksplorasi saling ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori
tentang proses kultural. Selain berminat melacak cara saling pertautan
yang sangat bermacam ragam dan sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu
budaya, banyak fungsionalis berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah
menciptakan sosok teori yang menjelaskan mengapa unsur-unsur itu berhubungan
secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya tertentu atau setidak-tidaknya
mengapa pola itu bertahan. Ketika Malinowski menjelaskan magic Trobrian
sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan menghadapi hal-hal yang
tidak di pahami, dia seolah menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic
itu dalam budaya masyarakat Trobriand.
2.4
Kelebihan
dan Kekurangan Teori Fungsionalisme
Menurut Kaplan dan Manners dalam bukunya mengatakan bahwa
dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi
yang berorientasi pada teori, yakni, (diktum metodologis), bahwa kita
harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya, artinya kita harus mengetahui
bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu
masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, kemungkinan lain adalah
memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tqanpa
kaitan yang muncul disana-sini karena kebetulan historis. Fungsionalisme
sebagai perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu pada (analogi dengan
organisme), artinya ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya
sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan
melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian
hidup “organisme” itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional adalah
asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa semua sisem budaya memiliki syarat
fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Atau sistem budaya
memiliki kebutuhan (mungkin dikatakan sebagai “kebutuhan sosial “ ala
Radcliffe-Brown, atau diungkapkan dalam peristilahan biologis individual ala
Malinowski) yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan
hidup.dapatlah diduga bahwa jika kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi
maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan “mati”. Atau ia akan berubah
menjadi sistem lain yang berbeda jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan
budaya, dan kompleks kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya
sebagai spesifikasi hubungan dengan suatu sistem yang lebih besar dan
mengimplikasikan hal-hal tersebut. Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi
ikut berperan memelihara sistem besar itu atau sebagian tertentu darinya
(Kaplan dan Manners, 2002: 77-78).
Dari uraian diatas menimbulkan asumsi bahwa kesempurnaan
paradigma fungsionalis masih harus dibumbui dengan beberapa aspek yang tanpanya
bisa jadi wujud fungsionalis adalah sebuah paradigma yang stagnan atau bahkan
bisa dikatakan mati. Artinya paradigma ini masih mempunyai kelemahan, meskipun
secara eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan keadaan sebuah kebudayaan.
Kelemahan-kelemahan yang ada mungkin bisa di kategorikan sebagai berikut.
1. Manakala
analisis fungsional berupaya untuk tidak berhenti pada metodologi pencarian
hubungan struktural bamun terus mengarah ke suatu teori tentang asal mula atau
persistensi struktur tertentu, maka ia terkendala oleh keterbatasan logis yang
itu ke itu juga. Karena pelekatan fungsi pada suatu institusi selalu merupakan
hal yang bersifat post hoc.
2. Penjelasan
fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang institusi
beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul
ia jelaskan. Misalnya, dikatakan bahwa daam masyarakat X pelaksanaan ritual
tertentu memupuk solidaritas sosial sehingga mendukung sistem di mana ritual
itu menjadi bagian. Marilah kita abaikan dahulu apa yang dimaksud dengan
“solidaritas sosial” dan “memelihara sistem” itu. Kita melihat suatu masyarakat
sedang mendenyut, dan kita saksikan para warga pribuminya melaksanakan ritual.
Memang sangat masuk akal bila kedua hal itu lalu dikait-kaitkan secara yang
tersebut diatas, akan tetapi penjelasan macam apakah yang telah kita berikan
mengenai ritual itu, baik mengenai asal-mula maupun kesestarian pelaksanaannya?
3. Analisis
fungsional mempersoalkan pemeligaraan diri sistem, ia tidak dapat menjelaskan
perubahan struktural. Untuk menjelaskan perubahan struktural, orang harus mempertimbangkan
bobot kausal variebel-variabel tertentu. Artinya, haruslah ditentukan unsur,
institusi, atau struktur mana yang lebih mendasar, lebih “fungsional” daripada
yang lain-lain.
Dari beberapa kelemahan di atas kemudian muncullah
tanggapan-tanggapan terkait solusi yang menjadi jalan keluar dari
kelemahan-kelemahan yang ada, dan deskripsi atas paradigma fungsionalisme ini.
1. Kaplan
dan Manners mengatakan bahwa selama fungsi sosial yang sama itu dapat
dilaksanakan oleh berbagai institusi, atau sepanjang institusi yang satu itu
dapat melaksanakan berbagai fungsi, penjelasan semacam itu sangat sulit atau
bahkan mustahil. Penjelasan fungsional tentang persistensi suatu institusi pun
semakin persis sama muskilnya.
2. Suatu
institusi atau kegiatan bedaya dikatakasn fungsional manakala memberikan andil
bagi adaptasi atau penyesuaian sistem tertentu, dan disfungsional apabila
melemahkan adaptasi. Dan yang menjadi masalah pokok ialah bahwa kita tidak
dapat mengatakan kapan suatu institusi lebih bersifat fungsional dari pada
disfungsional, bila hanya menggunakan tinjauan empirik sederhana.
3. Syarat
minimalnya, untuk analisis fungsional yang memadai adalah, (1) suatu konsepsi
tentang sistem, (2) daftar syarat fungsional untuk sistem itu, (3) definisi
berbagai sifat atau “status” sistem yang dalam keadaan terpelihara, (4)
pernyataan tentang kondisi eksternal sistem tersebut dan dengan demikian dapat
di control, (5) pengetahuan tertentu tentang mekanisme internal dalam
pemeliharaan sifat sistem itu atau dalam mempertahankannya agar berada dalam
batas tertentu.
4. Jika
minat kita tidak sekedar pada kronologi atau pengisahan sejarah alam, kita
harus menggunakan proses klasifikasi, kategorisasi, serta menunjukkan
kemungkinan hubungan antara tipe-tipe kejadian. Disinilah perspektif fungsional
dan perspektif evolusi hafus dikawinkan dengan perspektif historis. Seban hanya
dengan menggabungkan fungsionalisme, evolusionisme, dan sejarah itulah kita
baru dapat mulai merumuskan teori.
2.5
Pandangan
Teori Fungsionalisme Malinowski dan Aplikasinya dalam Realita Kehidupan di
Masyarakat
Secara garis besar Bronislaw Malinowski
merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan
manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a
functional theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog
yang sering menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade
tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk
menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya (Andi,
2010).
Malinowski berpendapat bahwa pada
dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis
maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan
tersebut. Menurut pendapatnya, ada tiga tingkatan yang harus terekayasa dalam
kebudayaan, yaitu:
1.
kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti
kebutuhan akan pangan dan prokreasi
2.
kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental,
seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan.
3.
kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif,
seperti agama dan kesenian.
Tulisan “Argonauts of the Western
Pacific” (1922) melukiskan tentang sistem Kula yakni berdagang yang
disertai upacara ritual yang dilakoni oleh penduduk di kepulauan Trobriand dan
kepulauan sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan perahu
kecil bercadik menuju pulau lainnya yang jaraknya cukup jauh. Benda-benda yang
diperdagangkan dilakukan dengan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam
bahan makanan, barang-barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada
itu yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran
perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga dan bernialai tinggi.
Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu arah mengikuti arah jarum
jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar berlawanan
dari arah kalung kerang dipertukarkan.
Karangan etnografi
dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk perkeonomian
masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan
menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik,
namun disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut
ialah keterkaitan sistem perdagangan atau ekonomi yang saling terkait dengan
unsur kebudayaan lainnya seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi
sosial yang berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut
terbentuk kerangka etnografi yang saling berhubungan satu sama lain melalui
fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari tulisan tersebut oleh Malinowski
ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional. Selain
dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya
Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat
lugas ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah
objek masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat
memahami apa yang objek lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada
masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah
pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus yang
konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para
peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat
memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial
dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi
mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :
1. saling
keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2. konsep oleh masyarakat yang
bersangkutan.
3. unsur-unsur dalam kehidupan
sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4. esensi atau inti dari
kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan
kebutuhan dasar “biologis” manusia.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut
Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa
segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau
organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka
berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih
solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
Dalam konsep fungsionalisme
Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang terlembagakan
dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Seperti kebutuhan gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction),
kenyamanan (body comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation),
pergerakan (movement), dan pertumbuhan (growth). Setiap lembaga
sosial (Institution, dalam istilah Malinowski) memiliki bagian-bagian
yang harus dipenuhi dalam kebudayaan.
Sebenarnya inti dari teori
fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (Nana, 2011).
Kebutuhan itu meliputi kebutuhan biologis maupun skunder, kebutuhan mendasar
yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. Sebagai contoh,
Malinowski menggambarkan bahwa cinta dan seks yang merupakan kebutuhan biologis
manusia, harus diperhatikan bersama-sama dalam konteks pacaran, pacaran menuju
perkawinan yang menciptakan keluarga, dan keluarga tercipta menjadi landasan
bagi kekerabatan dan klen, dan bila kekerabatan telah tercipta akan ada sistem
yang mengaturnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai sistem kekerabatan dan
fungsinya dalam kebudayaan.
Kesenian misalnya yang merupakan
salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan
kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena
kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas
kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat.
Misalnya budaya yang muncul akibat kepentingan kelompok masyarakat tertentu,
umpamanya kelompok masyarakat petani, nelayan, atau para politikus, akademisi
dan lain-lain . Masing-masing dari kelompok tersebut akan selalu berusaha
menjaga eksistensinya agar dapat menjalankan fungsinya untuk memenuhi
kebutuhan dari kelompoknya sendiri.
Manusia, melalui instrumentalisasi
kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun memenuhi kebutuhannya, ia harus
mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan makan melalui
bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia
dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses belajar
adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh
keyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem
pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan,
nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung
kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan, timbul
pula kebutuhan akan agama.
Konsep kebudayaan terintegarasi
secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai
seperangkat sarana adalah masalah mendasar. Kepercayaan, dan magik sekalipun,
harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis.
Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan
kerjasama yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi
sesorang.
Magik bagi sebagian masyarakat
manusia di dunia ini diyakini memiliki daya kerja, meredam kecemasan terhadap
masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan agama, magik dikembangkan dan
berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magik adalah
“ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan
harapan atas ketakutan”, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan bencana
alam, akan penyakit dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal dari
ketakutan manusia akan kematian.
Apa yang diuraikan di atas adalah
teori fungsional kebudayaan sesuai dengan pemikiran Bronislaw Malinowski, yang
menguraikan tentang kebutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan kebutuhan
dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut Maslows Hierarchy of Needs,
menguraikan tingkat kebutuhan yang dibutuhkan manusia ada lima
tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah sampai tingkat kebutuhan
tertinggi meliputi :
1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan
rasa haus, lapar, istirahat dan aktivitas.
2. Safety –Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari
takut dan cemas atau kekhawatiran.
3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasing
sayang untuk mendukung eksistensinya
4. Esteem – self and others, kebutuhan manusia akan penghargaan
pribadi dan orang lain.
5. Self actualization, personal self
fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan diri pribadi.
Apa yang diuraikan di atas adalah
merupakan kebutuhan yang ideal. Namun dalam kenyataannya untuk memenuhi
setiap kebutuhan itu harus disertai faktor pendukung. Bila kita amati dalam
kehidupan masyarakat, masih banyak hal yang masih perlu diperbuat dan
diusahakan oleh setiap individu maupun masyarakat agar dapat memenuhi
kebutuhannya dari tingkat paling bawah sampai ketingkatan yang teratas.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Aliran fungsionalisme merupakan jenis level pola pikir jangka panjang.
Aliran ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang. Apabila ada seseorang
yang ingin melangkah ke suatu tempat, jalan berpikir secara fungsionalisme
menuntut untuk mengikutsertakan faktaor-faktor yang tidak secara langsung
terlibat. Barulah dapat ditelusur simpulan atas hasil pemikirannya tersebut.
Aliran fungsionalisme ini memiliki kekurangan dalam hal profesionalitas.
Sebagai analogi, apabila sebuah piring digunakan tidak hanya sebagai tempat
nasi, tetapi juga sebagai wakul atau yang lainnya akan berdampak pada hakikat
dari piring tersebut. Bahwa secara struktur memang benar bahwa piring adalah
tempat nasi, dan sendok adalah alat untuk mengambil nasi. Tetapi bila piring
digunakan untuk mengambil nasi, maka kedudukan piring menjadi tidak jelas. Analagi
sederhana tersebut sekiranya dapat menjelaskan garis besar teori
fungsionalisme.
3.2
Saran
Kita sebagai mahasiswa
yang hidup di tengah-tengah masyarakat hendaknya memahami akan kebudayaan
sekitar. Dalam memahami kebudayaan yang semakin kompleks, maka diperlukan
berbagai teori atau paham agar kita dapat mengkajinya. Oleh karena itu, kita
sebagai generasi terpelajar hendaknya berusaha menambah ilmu sebanyak mungkin
agar bermanfaat bagi kehidupan. Semakin banyak ilmu yang kita kuasai maka
semakin berarti kita dalam kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, David
& Robert A.
Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lydia, Sepvirna E. P & Maratus Sholihah. 2009.
Aliran Fungsionalisme (jurnal online), dalam http://psikologi.or.id diunduh pada 24 September 2013 pukul 19.32 wib.
Widya, Nana. 2011. Aplikasi Teori Fungsional
Struktural, dalam http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html
diunduh 16 September 2013 pukul 14.35 wib.
Yusuf,
Andi. 2010. Fungsionalisme
Malinowski. dalam
http://oechoe.blogspot.com/2010/04/fungsionalisme-malinowski.html
diunduh pada 22
September 2013 pukul 12.48 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar