A. Konsep
Dasar Sentralisasi Pendidikan
Dalam manajemen pendidikan dikenal
dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam
sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan
pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem
desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah
daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrem,
tetapi dalam bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal). Hal ini juga berlaku dalam
manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan
UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi),
namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak
terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan
tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Sentralisasi adalah seluruh wewenang
terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU.
Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada
sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur
organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah.
Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan
pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat
sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama
Dalam era reformasi dewasa ini,
diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi
kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke
daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi
daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah
itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan
prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi.
Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan
pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan
pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai
akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan
pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat
kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya
bersebrangan dengan kebijakan pusat.
Kalau hal ini terjadi maka konflik
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah
konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya-upaya pemisahan
diri yang tentunya mengancam disintegrasi bangsa.
Dengan perkataan lain apabila
kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya
sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat
mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara
bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan
koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda
untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI. Masalah
sinkronisasi dan koordinasi kebijakan pendidikan dan upaya membina generasi
muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah.
B. Kelebihan
dan Kekurangan Sentralisasi Pendidikan
Indonesia sebagai negara berkembang
dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem
sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang.
Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan
dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya
baik kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran
siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar memiliki peluang untuk
mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya.
Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang
memperhatikan seperti:
a) Totaliterisme
penyelenggaraan pendidikan.
b) Keseragaman manajemen,
sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan
sekolah dan pembelajaran.
c) Keseragaman pola
pembudayaan masyarakat.
d) Melemahnya kebudayaan
daerah.
e) Kualitas manusia yang
robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem
pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan
sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara
mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati,
memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat
menjadi sangat sulit untuk diwujudkan.
C. Konsep
Dasar Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi di Indonesia sudah
ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5
tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat
pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.
Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang
disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Beberapa alasan yang mendasari
perlunya desentralisasi:
a.
Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara
lebih luas.
b.
Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
c.
Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang
sehingga dapat meningkatkan efisiensi.
d.
Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah
secara optimal.
e.
Mengakomodasi kepentingan politik.
f.
Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih
kompetitif.
Desentralisasi Community Based
Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah
antara lain:
a.
Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur
oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah,
termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
b.
Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan
pendidikan. Dalam hal ini, pelimpahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan
dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota sebagai
sentra desentralisasi.
Desentralisasi adalah pendelegasian
wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level
bawah (daerah). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan
sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang
memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang
tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini
adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di
daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini
adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya
menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk
keuntungan para oknum atau pribadi.
Hal ini terjadi karena sulit
dikontrol oleh pemerinah pusat. Desentralisasi pendidikan suatu keharusan
rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru
mengenai kehidupan masyrakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights).
Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang
mengakui akan kebebasan individu yang bertanggungjawab. Pada masa orde baru
hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu
pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak
daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk
kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun
telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah.
Lahirlah gerakan separtisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah
merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi
daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal yang berkaitan
dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi,
pengembangan sosial capital, dan pengembangan daya saing bangsa.
1)
Masyarakat Demokrasi
Masyarakat
demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani (civil
society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi
manusia. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap
anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk
membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani adalah
pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri.
Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean
governance).
2)
Pengembangan “Social Capital”
Para ahli
ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan
kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu
pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai
social capital hanya bisa diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan
yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang
tidak menghargai akan kebebassan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan
nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem
pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak
sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu,
desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada
rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam
pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam
penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat
ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
3)
Pengembangan Daya saing
Di dalam
suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal
dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan
bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam kerja
sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak
mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban
perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap
masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter.
Daya saing
di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling
menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang
semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi
suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap
individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat
dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan
meningkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing
seseorang atau suatu masysrakat. Faktor-fator tersebut adalah intelegensi,
informasi, ide baru, dan inovasi.
Fenomena ini
berpengaruh terhadap dunia pendidikan akibatnya desentralisasi pendidikan
adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi. Tentu saja desentralisasi
pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau
intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan.
Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang
mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping itu membawa dampak
ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan
menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi
pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat
dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan
yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah
atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara.
Faktor-faktor
pendorong penerapan desentralisasi1 terinci sebagai berikut :
a.
Tuntutan
orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru
untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
b.
Anggapan
bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam
meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
c.
Ketidakmampuan
birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan
masyarakat yang beragam.
d. Penampilan kinerja sekolah dinilai
tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat
e.
Tumbuhnya
persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi
pendidikan, mencakup tiga hal, yaitu :
a.
Manajemen
berbasis lokasi (site based management).
b.
Pendelegasian
wewenang;
c.
Inovasi
kurikulum.
Inovasi
kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk
meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum
disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada
kurikulum 2004 yang telah diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan
kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi keleluasaan
untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam
silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh,
suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui
bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi
biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen
berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan
memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota
masyarakat dalam pembuatan keputusan. Misi desentralisasi pendidikan adalah
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,
meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur
kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan
dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi,
dan demokrasi dalam pendidikan.
D. Kelebihan
dan Kekurangan Desentralisasi Pendidikan
Dari beberapa pengalaman di negara
lain, kegagalan desentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal:
a.
Masa transisi dari sistem sentralisasi ke
desentralisasi memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak
memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
b.
Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara
pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
c.
Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
d.
Sumber daya manusia yang belum memadai.
e.
Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
f.
Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
g.
Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk
kehilangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan
disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru,
diantaranya:
a.
Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antar
daerah, antar sekolah, antar individu warga masyarakat.
b.
Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat
(orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu
sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga
kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
c.
Biaya administrasi di sekolah meningkat karena
prioritas anggaran dialokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya
baru didistribusikan ke sekolah.
d.
Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan
pendidikan, secara kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan.
e.
Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu
memahami sepenuhnya permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya
akan menurunkan mutu pendidikan.
f.
Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam
dikarenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan
kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
g.
Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan
pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya
permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya
harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan
tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan:
a.
Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan
tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.
b.
Masa transisi benar-benar digunakan untuk menyiapkan
berbagai hal yang dilakukan secara garnual dan dijadwalkan setepat mungkin.
c.
Adanya komitmen dari pemerintah daerah terhadap
pendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.
d.
Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem
manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
e.
Pemahaman pemerintah daerah maupun DPRD terhadap
keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem
pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
f.
Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD,
masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru
tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
g.
Adanya kesiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi
untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten/kota.
Selain dampak negatif tentu saja
disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain:
a.
Mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai
pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam
pembentukan social capital tersebut
b.
Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan
demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
c.
Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga
melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan
untuk masyarakat.
d.
Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan cara
menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kualitas belajar siswa.
KELEMAHANDESENTRALISASI:
a.
Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara
daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat.
b.
Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat
(orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu
sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga
kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
c.
Biaya administrasi di sekolah meningkat karena
prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya
baru didistribusikan ke sekolah.
d.
Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan
pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
e.
Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu
memahami sepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya
akan menurunkan mutu pendidikan.
f.
Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di
karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan
mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
g.
Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan
pendidikan dari pusat ke daerah.
Mengapa perlu desentralisasi pendidikan?
Berbagai studi tentang desentalisasi menunjukkan bahwa
pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim, mengandung unsur
ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah tidak bisa
dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang
selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Maka
sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan. Salah
satu model desentralisasi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (School
Based Management).
Dalam bidang pendidikan, desentralisasi mengandung arti
sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelolaan pendidikan
yang ada didaerah baik pada tingkat provinsi maupun lokal, sebagai perpanjangan
aparat pusat untuk menigkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di
daerah. Dalam manajemen pendidikan dasar, desentralisasi memang dapat
melemahkan tumbuhnya perasaan nasional yang sehat, dapat menimbulkan rasa
kedaerahaan yang berlebihan, serta akan menjurus kepada isolasi dan
pertentangan. Namun, dengan pengakuan dan kesepakatan untuk menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa dan negara, kecenderungan
separatisme dapat dikurangi dan ditekan seminimal mungkin.
Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan
pikirannya untuk mengkaji model MBS yang cocok dengan kondisi negeri ini. Namun
jarang sekali yang menyinggung masalah isi (content) yang tak lain merupakan
hakikat desentralisasi itu sendiri. Hakikat desentralisasi pendidikan adalah
“apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan bukan aturan-aturannya
(regulation).
Menurut Wohlstetter dan Mohrman (1993) terdapat empat sumber
daya yang harus didesentralisasikan yaitu power/authority, knowledge,
information dan reward. Pertama, kekuasaan/kewenangan
(power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung
yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu
budget, personnel dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah
menyangkut pengangkatan dan pemperhentian kepala sekolah, guru dan staff
sekolah.
Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus
didesentralisasikan sehingga sumberdaya manusia di sekolah mampu memberikan
kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu
didesentralisasikan meliputi : keterampilan yang terkait dengan pekerjaan
secara langsung (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan
pengetahuan keorganisasian (organizational knowledge). Keterampilan kelompok
diantaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterampilan
berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman
lingkungan dan strategi merespon perubahan.
Ketiga, hakikat lain yang harus
didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik
informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus
didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder.
Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran
dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah,
kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi bisa secara
vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Keempat, pengaharhaan (reward) adalah hal
penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa berupa fisik
maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan
fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan non-fisik berupa
kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan
penataran.
Dengan mendesentralisasikan empat bidang tersebut diharapkan
tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak lain adalah meningkatkan
kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih
baik.
Implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah
kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelola
pendidikan sesuia dengan potensi dan kebutuhan daerahnya; perubahan kelembagaan
untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam
perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah; kepegawaian yang
menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber daya manusia ynag menekankan pada
profesionalisme; serta perubahan anggaran-anggaran pembangunan pendidikan (DIP)
yang dikelola langsung dari BKPN (Bappenas) ke kabupaten dalam bentuk block
grand sehingga menhilangkan ketakutan dan pngotakkan dalam penanganan
anggaran (BPPN dan Bank Dunia, 1999).
Desentralisasi pengelolaan sekolah perlu diletakkan dalam
rangka mengisi kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa
persatuan dan kesatuan bangsa; bukan berdasarkan kepentingan kelompok dan
daerah secara sempit. Pelaksanaan desentralisasi dalam pengelolaan sekolah
memerlukan kesiapan berbagai perangkat pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat
empat hal yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan desentralisasi berhasil,
yaitu:
a.
pertauran perundang-undangan yang mengatur
desenralisasi pendidikan dari tingkat daerah, provinsi sampai tingkat
kelembagaan
b.
pembinaan kemampuan daerah
c.
pebentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab
untuk menyusun perencanaan penddikan
e.
perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat
untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan
desentralisasi tersebut.
B. Desentralisasi
Pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan
kecendrungan yang sangat dominan di antara berbagai fenomena global. Ada pun
tuntutan dan kebutuhan desentralisasi pendidikan muncul dan berkembang sebagai
bagian dari agenda besar gelobal tentang demokratisasi dan desentralisasi
pemerintahan dalam rangka mewujudkan tata pemerintah yang baik.
Desentralisasi pendidikan menjadi
bentuk dari penerapan neoliberalisme di satu sisi, tetapi disisi lain adalah
pengurangan hak negara terhadap intervensi yang terlalu kuat dalam proses
pendidikan dengan mengembalikan pada rakyat untuk lebih berperan dalam proses
pendidikna.
Desentralisasi pendidikan diterapkan
untuk peningkatan mutu pendidikan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dampak
positif atas kebijakan desentralisasi pendidikan, meliputi:
1.
Peningkatan mutu;
2.
Efisien keuangan;
3.
Efisien administrasi;
4.
Perluasan/pemerataan.
Pelaksanaan desentralisasi
pendidikan memrlukan the stakeholder society, yang oleh Ackerman dan
Alscott sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto, yang diformulasikan secara sederhan,
yakni sebagai masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama
untuk membangun masyarakatnya sendiri. Terdapat lima pemain dalam the
stakeholder society, yaitu:
1.
Masyarakat lokal;
2.
Orang tua;
3.
Peserta didik;
4.
Negara;
5.
Pengelola profesional pendidik.
C. Implikasi
Desentralisasi Pendidikan
Permasalah dasar pendidikan di
indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan
pendidikan dasar dan menengah. Sedikitnya ada tiga faktor utama yang
menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan yang merata.
1.
Faktor pertama, kebijakan penyelenggara pendidikan nasional
menggunakan pendekatan education production function atau input
output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini
gagal karena kurang memperhatikan proses pendidikan.
2.
Faktor kedua penyelenggara pendidikan nasional
dilakukan secara birokratif-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokratis yang
mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat.
3.
Faktor ketiga, peranan serta masyarakat, khususnya
orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. partisipasi
masyarakat lebih banyak bersifat dukungan (dana), bukan pada proses pendidikan
(pengembalian keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas ).
Hal-hal yang menguatkan bahwa
pendidkan adalah sebuah “proses” sebagai mana yang di paparkan H.A.R. Tilaar
bahwa dalam perspektif mikro yang dijadikan pusat perhatian adalah peserta
didik dalam proses belajar mengajar. Perserta didik dalam proses belajar
berkaitan dengan tujuan pendidikan, metodologi, evaluasi hasil belajar. Semua
masalah tersebut termasuk dalam sistem pendidikan di sekolah. Kegiatan-kegiatan
tersebut didukung oleh sistem internal, yaitu:
1.
Pembuatan kebijakan,
2.
Manajemen,
3.
Service.
Selanjutnya, keseluruhan sistem
tersebut didukung oleh sistem eksternal yaitu:
1.
Budaya,
2.
Kekuatan politik,
3.
Kondisi ekonomi.
Kekuatan pandangan mikro adalah
menempatkan peserta didik sebagai objek utama dalam menyelenggarakan
pendidikan. Kelemahan pandangan mikro adalah seakan-akan proses pendidikan
peserta didik akan menentukan segala-galannya atas suksesnya sistem pendidikan
nasional.
Pendidikan sebagai proses dalam
analisis mikro dapat dipahami dalam perspektif studi kultural. Dalam konteks
ini sistem pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya,
sosial, politik, dan ekonomi sebagai suatu keseluruhan. Dalam kaitan antar
negara,pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi dalam sistem kekuasaan.
Kekuatan dalam perspektif ini adalah sistem pendidikan dapat mengubah tingkah
laku seseorang dalam berpikir yang lebih terbuka dan reflektif. Peranan negara
dalam perspektif ini dapat bersifat positif apabila lembaga-lembaga pendidikan
mempunyai kontrol terhadap kekuasaan negara.
Dalam kaitanya dengan hal-hal di
atas, menunjukan bahwa peran negara dalam pembangunan pendidikan dalam
perspektif mikro dan mikro menunjukkan proses perubahan yang cukup signifikan.
Sebagai diuraikan H.A.R. Tilaar tentang perubahan peran negara dalam pendidikan.
Tabel Perubahan Peran Negara dalam
Pendidikan
PERANA
|
MASA LALU
|
SEKARANG dan MASA DEPAN
|
Pemerataan Pendidikan
|
Birorientasi target
|
Birorientasi Kualitas
|
Kualitas
|
Dicapai melalui evaluasi dan
standarisasi semua melalui ujian terpusat dan kurikulum baku yang bersifat
nasional.
|
Sebagai prioritas utama yang
sesuai dengan kebutuhan daerah.
|
proses
|
Tidak dipentingkan; yang penting
ialah tercapainya target kuantitatif
|
Sangat penting karena yang
dipentingkan ialah perubahan tingkah laku dan “outcome” pendidikan
|
Metodologi
|
Indoktrinasi
|
Dialogis
|
Manajemen
|
Negara dan birokrasinya memegang
peranan sentral
|
Manajemen berpusat pada institusi
sekolah
|
Pelaksanaan servis
pendidikan
|
Pelaku utama
|
Pemerintah sebagi patner yang
cukup menetapkan arah
|
Perubahan sosial
|
Terarah dan opresif
|
Demokrasi dan grass-root
|
Perkembangan demokrasi
|
Menentukan bingkai kehidupan
berdemokrasi terbatas pada prosedur
|
Mengembangkan perubahan tingkah
laku demokratis secara substantif
|
Perkembangan sosial-ekonomi
masyarakat setempat
|
Bukan menjadi bahan pertimbangan
penyusunan kurikulum
|
Salah satu komponen pokok
penyusunan kurikulum
|
Perkembangan nilai-nilai moral dan
agama
|
Ditentukan oleh pemerintah pusat
|
Berakar dari budaya dan agama
setempat
|
Nasionalisme
|
Pemaksaan dari atas dan bersifat
formalisti. Mengabaikan identitas daerh
|
Pendekatan multikultural
|
pendanaan
|
Seluruhnya penanggung pembiyaan
pendidikan. Dana sebagai alat pelestarian kekuasaan pemerintah.
|
Selektif sebagai lembaga pemersatu
nasional dalam pemerataan, kualita, dan persatuan nasional
|
Pelaksanaan wajib belajar 9-12
tahun
|
Ditentukan secara pusat oleh
pemerintah pusat
|
Sesuai dengan kondisi dan
kemampuan daerah. Pelaksanaanya secara bertahap sesuai dengan kondisi
sosial-ekonomi daerah
|
Lebih jauh tentang desentralisasi
dan otonomi pendidikan mempunyai makna sebagai pewujudan penghargaan atas hak
dan kewajiban rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan untuk anak-anaknya.
Proses tersebut intinya ialah memberikan kesempatan pada rakyat untuk mengambil
keputusan tetang bentuk, proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai
dengan tuntutan kehidupanya. Dengan kata lain, desentralisasi dan otonomi
pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat. Oleh karena itu, desentralisasi dan
otonomi pendidikan mempunyai dua makna, yaitu: pertama, pengambilan
keputusan dari rakyat secara langsung, atau partisipasi dalam mengambil
keputusan. Kedua partisipasi dalam manajemen situasional atau manajemen
kepemimpinan oleh rakyat dalam bidang pendidikan.
Tindakan pemerintah melakukan
reorientas pendidikan langkah strategis bagi perbaikan mutu pendidikan dasar
yang secara legal formal memiliki kekuatan hukum. Dalam hal ini, pemerintah
melalui UU No. 32 dan 33 dan 2004 tentang otonomi daerah menuntut pembangunan
pendidikan dioptimalkan didaerah. Selanjutnya peran bupati dan walikota
diharapkan lebih serius dalam melaksanakan otonomi pendidikan dengan mengacu
pada empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni : 1)
peningkatan mutu; 2) efisiensi keuangan; 3) efisien administrasi; dan 4)
perluasan /pemerataan. Wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak dari
pra-sekolah sampai pendidikan menengah atas merupakan urusan pemerintah
kabupaten atau kota. Oleh karen itu, daerah diberi kesempatan membuat grand
design yang secara kontekstual sesuai dangan wilayahnya.
Dengan adanya desentralisasi
pendidikan akan memperkuat pemerintah daerah membangun kapital sosial pada
pemerintah daerah. Karena penerapan desentralisasi pendidikan di indonesia
diperkuat dengan adanya undang-undang No. 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa
wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak pendidikan pra-sekolah
sampai pendidikan menengah atas adalah urusan pemerintah kabupaten atau kota.
Undng-undang tersebut diperkuat lagi dengan munculnya UU No. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasioanal mengenai kewajiban bagi orang tua
untuk memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2). Selanjutnya,
kewajiabn bagi masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam penyenggaraan
pendidikan (pasal 9). Demikian juga, tentang pendanaan peendidikan menjadi
tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah , dan masyarakat (pasal 46
ayat 1).
Oleh karena itu, komitmen bupati
walikota sebagai kepala pemerintah kabupaten/kota terhadap bidang pendidikan
akan memberi warna dan corak pendidikan diaerahnya.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi
yang mulai dilaksanakan tahun 2000 membawa konsekuensi besar perubahan
pendidikan di indonesia. Dalam kaitanya dengan perubahan ini, unit-unit di
kabupaten dan kota perlu mengembangkan kapasita merumuskan kebijakan
operasional maupun kebijakan yang menjadi wewenangnya. Dibnyak kasus, kebijakan
semacam ini tidak eksplisit, dirumuskan secara jelas.
Sebagai akibatnya desentralisasi
pendidikan belum dapat menghasilkan bahwa :
1.
Setiap unit dan personil semakin menyadari dan
memahami proses kebijakan yang menjadi urusanya.
2.
Pendidik dasar dapat memainkan peranan sentral dalam
melaksankan desentralisasi kehidupan masyarakat.
3.
Pentingnya kemitraan, dialog, dan membangun belajar
organisasi dalam mencapai tujuan pendidikan dasar.
4.
Pentingnya menyusun panduan dan pengembangan kapasitas
unit-unit dan personil di jajaran pendidikan kabupaten dan kota.
5.
Pentingnya mengenali stakeholder pendidikan sedia
serat mampu melibatkan mereka dalam kegiatan dan manejemen pendidikan.
6.
Perlunya meningkatkan kesadaran pentingnya membangun
masyarakat belajar dengan kemampuan dialog secara aktif.
Kegagalan kebijakan pendidikan
desentralistik dapat diantisipasi dengan pemahaman terhadap berbagai sumber
masalah. Sebagai mana dijelaskan oleh Chapman dan Mahlck bahwa kegagalan
kebijakan pendidikan dari pusat yang gagal masuk dan dilaksanakan
disekolah-sekolah karena berbagai faktor yang menjadi sumber masalahnya, antara
lain:
1.
Kebijakan pusat tak dikomunikasikan ke sekolah; para
kepala sekoalah dan guru tak mengerti bahwa mereka harus mengerjakan hal yang
berada dengan sebelumnya.
2.
Kebijakan yang telah dikomunikasikan ke sekolah tetapi
dalam ungkapan-ungkapan yang tak jelas sehingga tak tahu apa yang harus mereka
lakukan.
3.
Tak jarang kepala sekolah dan guru beranggapan bahwa
kebijakan dan program-program itu tak cocok dengan realitas sekolah dan kelas.
4.
Para guru dan personal taksiap mengerjakan kebijakan
dan praktiknya.
5.
Cara-cara dan dukungan untuk menerapkan kebijakan tak
mencakupi.
6.
Informasi sekolah yang tersedia di departemen tak
mencantumkan informasi praktik pedagogis di tingkat kelas.
7.
Sering sekali terjadi interaksi praktik yang positif
dan negatif.
Dalam kaitanya dengan uraian diatas,
bahwa kegagalan kebijakan pendidikan disebabkan kurang menekankan pada analisis
proses.
D. Manajemen Pendidikan
Diera Desentralisasi Pendidikan
Sekolah menerap kan menajemen
peningkatan mutu bebasis sekolah (MPMBS) sebgai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengembalian keputusan
partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
(guru,siswa,kepala sekolah, karyawan orang tua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan berdasarkan kebijakan pendidikan nasioanlal. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang
sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.
Otonomi diartikan kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/ tidak tergantung. Otonomi
sekolah adalah kewenangan sekolah mengatur dan mengurusi kepentingan warga
sekolah menurut prakasa sendiri atau aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif
adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, diimana warga sekolah didorong untuk terlibat secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap
pencapaian tujuan sekolah.
MPMBS didefinisikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengambalian keputusan secara partisipatif untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam
kerangka pendidikan nasional.
MPMBS betujuan mendirikan atau
memberdayakan sekolah memlalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah
dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara
partisipatif.
Munculnya MPMBS, dikarenakan beberapa
alasan antara lain adalah:
1.
Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya;
2.
Sekolah lebih mengeahui bebutuhan lembaganya,
khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam
proses pendidkan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta
didik.
3.
Pengambilan keputusan oleh sekolahnya lebih cocok
untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa
yang terbaik bagi sekolahnya;
4.
Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan
efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat;
5.
Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarkat dalam
pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang
sehat;
6.
Sekolah cepat merespons aspirasi masyarakat dan
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Analisis, Tahun XXIX/2000, No 1. ”Otonomi daerah, penyelesaian
atau masalah?
”Program Pembanguna Nasional (Propenas) 2000-2004”. Republik Indonesia, 2000
Andrias Harefa, Menjadi manusia pembelajar, kompas media Indonesia Jakarta, 2001
”Program Pembanguna Nasional (Propenas) 2000-2004”. Republik Indonesia, 2000
Andrias Harefa, Menjadi manusia pembelajar, kompas media Indonesia Jakarta, 2001
Bobbi DePorter dkk, Quantum Learning, penerbit kaifa, Bandung, 2001
Dwiningrum, Siti Irene A.D. 2012. Desentralisasi dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
H A R. Tialar, Membenahi pendidikan nasional, Rineka cipta,
Jakarta, 2002
H A R. Tilaar, Paradigma baru pendidikan nasional, Rineka Cipta,
Jakarta 2000.
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah
pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II),
PT.Pembangunan
Kansil, C.S.T . 2005. Sistem Pemerintahan Indonesia . PT Bumi Aksara
: Jakarta .
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil. 2002. Pemerintahan Daerah
Indonesia . Sinar Grafika : Jakarta
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ:
Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa,
DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral
Pancasila, Jakarta:Depdikbud
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution,
Chicago:Chicago Univ.
Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan),
Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung,
Jurusan FSP FIP IKIP Bandung
MaCandrews, Colin dan Ichlasul Amal. 1993. Hubungan Pusat Daerah dalam
pembangunan. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta
Ndraha, Talizidu. 1988. Metodologi Pemerintahan Indonesia . Bina
Aksara : Jakarta
RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan
dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
Rodee, Clyner Carlton. Pengantar Ilmu Politik . 2000. PT
Rajagrafindo Persada : Jakarta
Sumarno Sudarsono, The willingness to change,Jakrta,2006
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1990. Pengantar Administrasi Pembangunan .
LP3ES : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar